Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nikmatnya Menulis Profil

18 Februari 2015   23:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebenarnya saya sangat kaget ketika saya diberi amanah untuk menjadi salah satu tim penulis profil alumni Unesa. Saya merasa mendapat kehormatan yang besar tapi saya juga khawatir bila tidak bisa melaksanakan amanah tersebut dengan baik. Ini adalah kesempatan bagi saya untuk membuktikan bahwa saya bisa menulis dengan baik.

Setidaknya ada empat hal yang saya dapatkan dan sangat berharga dalam hidup saya. Pertama, dengan masuk ke dalam tim penulis profil alumni Unesa maka secara otomatis saya bisa belajar lebih dalam hal menulis. Koordinator lapangan dari kerja ini adalah Mas Eko, mantan editor bahasa harian Jawa Pos. Bermula dari sini sebenarnya saya pertama kali bisa berkenalan dengan Mas Eko. Hingga sekarang saya menjadi akrab dan lengket dengannya. Saya belajar banyak mengenai dunia menulis dan seluk beluk kehidupan kepada beliau.

Kedua, saya tahu bahwa menulis profil alumni ini bukan hal mudah. Tanggung jawab terhadap pimpinan kampus sangat besar. Sekuat tenaga saya harus menyajikan tulisan yang bagus, yang sesuai dengan harapan pimpinan. Bagaimanapun saya mendapatkan SK dari pembantu rektor I untuk menjalankan amanah ini. Hal ini akan sangat menentukan nilai jual saya sebagai seorang penulis.

Ketiga, dengan menjadi penulis profil alumni Unesa yang telah berada di puncak kesuksesan maka secara otomatis berarti saya akan bisa bertemu dengan orang-orang penting. Saya dapat bertemu dengan editor eksekutif harian Surya dan ngobrol lepas di ruang rapatnya. Saya bertemu dengan Rektor Unipa dan Ketua IKIP Al-Hikmah. Saya juga bisa bertemu dengan Research and Development ­Yayasan Al-Hikmah. Saya dapat ngobrol lepas dengan pemimpin redaksi majalah Nurani, dan masih banyak lagi yang dapat saya temui. Ini adalah kehormatan bagi saya.

Keempat, ini adalah yang paling berharga dan melebihi segalanya bagi saya. Dengan menjadi penulis profil, saya dapat belajar mengenai proses orang-orang sukses tersebut. Bagaimana mereka menjalani proses kehidupannya sehingga sampai pada suatu tempat yang bagus. Bagaimana mereka berjuang menerjang semua hambatan yang merintangi perjalanan hidupnya. Tentunya mereka adalah kelompok orang-orang yang hebat, tangguh, dan pantang menyerah. Banyak rahasia hidup yang dapat saya pelajari.

Bahkan saya menemukan hal unik dari pengalaman-pengalaman orang-orang sukses tersebut. Baik yang sukses menjadi pejabat terhormat di dunia pendidikan maupun yang sukses dalam dunia bisnis. Umumnya, orang-orang yang sukses di dunia pendidikan (yang saya temui) memang memiliki kemampuan intelektual yang bagus. Peringkat terbaik selalu disandangnya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Di akhir masa kuliahnya pun mereka menjadi lulusan terbaik.

Berbeda dengan orang-orang yang sukses di bidang dunia usaha. Umumnya (dari yang saya temui) mereka tidak memiliki perhatian lebih terhadap nilai-nilai di dunia pendidikan. Mereka tidak begitu peduli seperti mahasiswa lainnya terhadap IPK. Baginya, yang penting kuliah dan itu sudah merupakan rezeki yang harus disyukuri. Namun, yang perlu dicatat, mereka tidak memperhatikan nilai sebenarnya bukan berarti mereka nakal. Melainkan mereka disibukkan oleh hal-hal lain, yakni kesibukan mencari penghasilan demi menyambung hidup di kota Surabaya.

Meskipun berbeda pandangan mereka terhadap nilai-nilai yang berupa angka, namun ada sisi lain di antara mereka yang sama: mereka adalah pejuang keras. Hampir semua yang saya temui, mereka berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah. Mereka harus berjuang sendiri untuk menyambung hidupnya dan juga pendidikannya seorang diri di kota besar. Orang tua mereka tidak mampu secara ekonomi untuk membiayai pendidikan mereka.

Mereka hanya memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah hidupnya. Mereka berani banting tulang untuk bisa hidup mandiri. Ada yang menjadi pedagang kopi, kernet, pekerja serabutan, guru les privat, dan wartawan media. Kondisi tertekan itulah yang membuat mereka berusaha keras, bahkan sangat keras, untuk mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik dengan kuliah.

Melihat berbagai macam kondisi lingkungan yang menekan dan ketangguhan mereka berjuang itulah tiba-tiba muncul teori Big Bang mengenai terbentuknya alam semesta dalam pikiran saya. Saya sedikit memahami teori ini setelah membaca buku yang berjudul “Membaca Pikiran Tuhan”. Sejauh yang saya pahami, teori ini mengatakan bahwa mulanya alam semesta ini mengerut sekecil-kecilnya. Setelah terus mengerut karena tekanan yang kuat, lama-lama meledaklah benda itu. Jadilah planet-planet dan bintang-bintang.

Nah, saya pikir, kehidupan juga sama dengan teori Big Bang tersebut. Apabila seseorang itu ditekan secara terus-menerus maka ada kemungkinan orang tersebut akan berontak (meledak). Pemberontakan ini akan melahirkan dua macam. Yaitu, pemberontakan aktif dan pemberontakan pasif.

Dalam pemberontakan aktif ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu aktif menuju positif dan aktif menuju negatif. Jika aktif menuju positif maka dia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjadi lebih baik sehingga kelak dia akan menjadi seperti bintang, dapat menerangi semesta alam atau dengan kata lain, mereka akan menjadi orang sukses seperti orang-orang yang saya tulis profilnya.

Sebaliknya, pemberontakan aktif negatif akan menuju ke arah yang negatif. Mereka bukannya lebih baik melainkan semakin buruk. Mereka biasanya akan melakukan tindakan-tindakan amoral untuk mengekspresikan pemberontakannya. Banyak tindakan amoral sebagai akibat dari pemberontakan aktif negatif ini. Mereka akan menjadi meteor yang tidak memiliki cahaya dan lama-lama akan jatuh sehingga merusak lapisan ozon.

Sementara orang-orang yang tidak memberontak atau memilih pasif ini lebih mengerikan. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk mengubah hidupnya. Mereka memilih pasrah dalam pengertian bodoh. Kemiskinan tidak mampu mengubah mereka menjadi terpacu untuk menjadi lebih baik. Mereka memilih untuk stagnan dan diam. Tak heran bila kelak mereka akan menjadi pengangguran dan pengemis abadi.

Tentunya dari berbagai pelajaran inilah saya berusaha menyontoh orang-orang yang memberontak menuju ke arah positif. Saya menyadari bahwa saya bukan orang yang berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke atas. Saya juga masih harus berjuang sendiri seperti awal mula orang-orang sukses yang saya temui. Semoga saya bisa! Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun