Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Megawati Harus Percaya Kemampuan Kader

16 Agustus 2016   09:52 Diperbarui: 16 Agustus 2016   10:12 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : JPNN.com

Kabar majunya kader PDIP yang juga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam gelaran Pilgub DKI 2017 mendatang sempat mencuat. Hal itu dikuatkan karena beberapa waktu lalu Risma meminta maaf kepada warga Surabaya. Tapi ternyata, PDIP hanya menjadikan Risma sebagai juru kampanye selama Pilkada. Lalu siapa yang akan diusung partai berlambang banteng hitam bermoncong putih ini?

Sebelum akhirnya didapuk menjadi jurkam, masyarakat di Jakarta sudah meminta wanita kelahiran Kediri, 54 tahun lalu tersebut “melawan” Ahok di Jakarta. Warga pendukung Risma ini juga sudah mendirikan posko di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Tidak hanya dari warga, partai politik yang tergabung dalam koalisi kekeluargaan juga mendukung Risma, seperti PAN, PKB, Gerindra, PKS, dan PPP mendorong Risma di Pilgub DKI melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Dijadikannya Risma menjadi jurkam memunculkan kembali isu bahwa PDIP masih berminat mendukung Ahok di Pilgub DKI 2017 mendatang. Bahkan malah sempat tersiar kabar PDIP akan mendeklarasikan Ahok-Djarot kembali diusung oleh PDIP. Bagi saya dan mungkin sebagian publik informasi ini jika benar sangat disayangkan. Ahok yang sempat tarik-ulur dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri kok bisa masih memiliki pesona di mata PDIP. Jika prediksi ini benar, tentunya akan menjadi blunder idelologis dan politis bagi partai pemenang Pemilu 2014 ini. Hal ini karena DPP PDIP dianggap tidak menampung aspirasi konstituennya di Jakarta yang menolak Ahok untuk diusung partai yang mengklaim sebagai partai yang menjalankan ideologi pro rakyat Bung Karno.

Bagi sebagian pihak mungkin Ahok dianggap tegas. Namun di mata rakyat, justru ketegasan Ahok itu kerap kali digunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pengusaha. Ahok sering mengeluarkan kata-kata kasar dan menggusur pemukiman warga dengan kekerasan (memobilisasi aparat polisi dan TNI berhadapan dengan rakyat). Selain itu, keberpihakan Ahok kepada pengembang secara terang-terangan dalam proyek raklamasi di Jakarta Utara membuat Ahok dianggap tidak lagi independen dalam menjalankan tugasnya sebagai gubernur. Hal ini tentu bertolak belakang dengan filosofi PDIP yang mengutamakan keberpihakan terhadap rakyat kecil dalam segala kebijakan. Bandingkan dengan Jokowi saat menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta berhasil memindahkan PKL melalui cara-cara dialogis. Atau, Risma, berhasil menutup lokalisasi Dolly, terbesar se-Asia Tenggara, tanpa kekerasan. Bahkan, Risma memberikan solusi bagi eks pekerja Dolly melalui berbagai kegiatan UKM.

Sebaliknya, Ahok kerap mencla mencle. Awalnya ingin maju secara independen, menolak dan bahkan kerap terkesan memusuhi parpol, akhirnya memutuskan maju lewat jalur parpol. Padahal, sebelumnya pendukungnya bernama “Teman Ahok” sudah bekerja keras mengumpulkan KTP, bahkan ke Singapura, sempat pula ditahan di airport karena insiden aktivitas politik yang dilarang di negeri tersebut. Tapi ternyata, Ahok berubah pikiran dan memutuskan maju lewat jalur parpol yang diusung Golkar, Nasdem, dan Hanura. Mestinya hal itu sangat mengecewakan para pendukung awal Ahok yang sudah menolak keberadaan parpol yang dinilai kerap mengganggu intervensionis, kotor dan koruptif.

Di luar semua itu, satu hal yang paling fatal adalah ketika Ahok mengultimatum Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri agar mendukung dirinya. Hal itu dianggap tidak pantas dan tidak menunjukan rasa hormat oleh kader PDIP kepada sang ketua umum.

Sebaiknya PDIP harus berpikir ulang jika benar-benar khilaf mendukung sosok seperti Ahok menjadi pemimpin rakyat Jakarta. Ahok sampai saat ini tidak mendaftar dalam mekanisme penjaringan calon gubernur Jakarta dari PDIP. Padahal, dalam konteks penguatan kelembagaan partai, mekanisme dan aturan yang sudah disepakati harus dipatuhi. Terlebih lagi, PDIP akan dianggap gagal dalam melakukan regenerasi kepemimpinan jika mengusung sosok nonkader, apalagi jelas-jelas berseberangan dengan ideologi dan praktek-praktek kepemimpinan sebagaimana yang diajarkan oleh Bung Karno. Padahal, PDIP memiliki segudang kader berprestasi yang berpotensi dipilih dan dicintai rakyat, salah satunya tentunya adalah Risma.

Akhirnya, DPP PDIP khususnya Ibu Megawati Soekarnoputri memilih calon gubernur yang betul-betul sejalan dengan ajaran Bung Karno. Politik tidak hanya berorientasi untuk mencari kemenangan semata, namun ada idealisme dan strategi mobilisasi rakyat yang lebih bisa diandalkan dengan memilih pemimpin yang otentik, yang benar-benar akan membawa kebaikan dan perubahan bagi Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun