Di hari yang tengah menjadi minggu, saya lagi menggunakan otak saya untuk berpikir. Mengapa hanya dengan kata-kata, membuat mereka menjadi gelisah. Gelisah itu dari hati. Seharusnya hati itu menggerakkan mereka untuk mengerti, kalau di bawah sana ada napas-napas terengah juga karena gelisah.
Gelisah untuk sebuah pengharapan kapan mereka bisa makan, dengan apa bisa terbayar uang sewa kontrakan, gelisah akan suara beep-beep meteran listrik yang tokennya hampir habis, dan kegelisahan-kegelisahan lainnya untuk hajat mendasar yang tengah susah didapat kala kungkungan gerak masih mengikat.
Mereka tak akan memaksa, apalagi dengan mulut ternganga minta di suapi. Mereka bisa mencari sendiri. Tapi untuk bisa mencaripun mereka tak bisa berekspresi. Hanya menunggu di balik pintu rumah kontrakan, menunggu dibalik sebuah harapan, menunggu untuk sesuatu yang terbelenggu.
Dan diantara mereka, ada yang meluapkan resahnya dengan sebuah karya. Ini bukan kriminal. Hanya menyuarakan hati mereka-mereka yang sudah tak bisa percaya dengan wakil-wakil mereka disana. Menyuarakan sebuah kenyataan yang tertangkap dalam insting imajinasi. Sebuah kejujuran ekspresi.
Tapi lihatlah, perbuatan itu membuat mereka terusik. Sesuatu yang tak asyik menyenggol mereka yang tengah asyik. Asyik dengan kegelamouran fasilitas, asyik dengan ambisi yang ingin dicapai, mungkin asyik dengan komisi keringat hasil kerja mereka demi rakyat.
Tapi ... ah sudahlah.
Bekasi, 29 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H