Sinopsis
Berawal dari ketenangan hidup seorang nenek bersama cucu semata wayangnya yang kian terusik kala melihat ketimpangan didepan mata, meski telah memasuki usia senja tetapi semangat hidupnya tak mudah surut. Berpendirian samin dan tetap memegang teguh adat dan tradisi, tetapi ia menghargai dan terbuka dengan adanya pembangunan dan modernisasi demi kemajuan hidup ummat manusia. Ia mengisi hari-harinya di pematang sawah yang berada tepat dipinggir sungai. Suaminya telah tiada sejak bertahun-tahun silam, hanya bersama Qohar cucu satu-satunya Aminah, perempuan tua itu melanjutkan hidup. Qohar adalah cucu yang terlahir dari si bungsu, Marsiyah yang wafat sesaat setelah melahirkan.
Hari-hari mereka sebagai keluarga kecil terasa tentram dan bersahaja meski beberapa kerikil tajam terkadang datang mendera, sampai kemudian drama itu terjadi. Aminah digelandang ke balai desa Rakusan hanya gara-gara sehari sebelumnya Aminah melayangkan sebuah surat protes ke kelurahan, mengkritisi sistem pelayanan pemerintah desa yang amburadul dan terkesan dipersulit.
Cara memprotesnya berbeda dari pada orang-orang tua pada umumnya. Lewat selembar kertas. Ya. Lewat selembar kertas yang digarap keponakannya Mansyur, perempuan tua nan sableng itu sanggup membuat mata dan telinga para perangkat desa Rakusan kian memerah berbalut amarah, hingga kemudian Aminah“kalah” dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Di balai desa ia disidang dan terpaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dari para perangkat desa Rakusan. Tanpa diduga sebelumnya Aminah mendapat sokongan dari pak Amin Ong, seorang wartawan lepas sebuah harian terkemuka di Ibu kota yang juga merangkap karier sebagai seorang konsultant. Tanpa diketahui Aminah lebih jauh kasus itu dilaporkan dan diperkarakan ke Kepolisian oleh pak Amin Ong. Ketika permohonan penyelidikan sengaja diabaikan dan diulur-ulur oleh pihak Kepolisian, pak Amin Ong lalu tidak percaya lagi dengan sistem hukum. Tiada kejelasan kapan kasus itu diselidiki dan dilimpahkan ke kejaksaan. Pak Amin Ong kemudian menggunakan caranya sendiri. Ia mengancam pihak Kepolisian dengan membocorkan kebobrokan sistem pelayanan ke publik, ke berbagai media massa dan televisi apabila tuntutan penyelidikan tidak segera dipenuhi.
Tanpa menghitung hari dan hanya beberapa jam kemudian kepala desa Rakusan beserta kroni-kroninya digrebek pihak kepolisian, mereka kemudian ditahan. Dalam hal ini masyarakat desa Rakusan tidak mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang memperkarakan masalah ini. Kemudian kecurigaan mengarah kepada Aminah yang sebelumnya terlibat bermasalah dengan orang-orang balai desa. Pada hal Aminah pun demikian, tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Dan ketika kasus balai desa mulai diselidiki, sepercik sinar keadilan menyeruak sebagai bentuk kemenangan Aminah. Tetapi ternyata ketika Aminah akan menemukan sebuah keadilan, justru ia malah menjadi semakin terpuruk. Kali ini bahkan membuat jiwanya serasa terburai. Aminah terasing dalam sepi di tengah-tengah keramaian. Orang-orang di sekelilingnya tanpa sebab tiba-tiba menjaga jarak dan mengucilkannya. Hanya seorang cucu dan gubuk kecil di pematang sawah yang senantiasa menyambut kedatangannya.
Satu minggu berselang muncul berita mengenai kegigihan Aminah dalam mengkritisi pemerintah desa Rakusan di sebuah media massa. Imbasnya sejumlah media online dan televisi berebut informasi mengenai siapa jatidiri Aminah dan sepak terjang kehidupannya. Tetapi entah kenapa disaat orang-orang berebut ingin mendapatkan informasi darinya, Aminah justru malah menjadi semakin tertutup. Dibutuhkan ruang dan waktu yang cukup lama untuk mengorek keterangan mengenai dirinya.
Bahkan salah satu pemilik stasiun tv swasta rela menginap beberapa hari dirumahnya hanya demi sebuah informasi darinya. Akhir dibalik semua itu, Aminah kemudian di elu-elukan semua orang berkat kegigihan dan keberaniannya mendobrak pagar ketidak adilan dimuka bumi atas dasar kemanusiaan. Tak berhenti sampai disitu, sebuah organisasi HAM sedunia yang bermarkas di Belanda mengundangnya sebagai tamu kehormatan dalam sebuah peringatan hari HAM tingkat internasional yang diselenggarakan di Berlin.
Dalam sebuah cukilan pidatonya di Berlin, Aminah mengutarakan keinginannya menghabiskan sisa umur bersama cucunya disebuah kota di Berlin. Baginya Berlin adalah sebuah kota yang nyaman dan penuh kedamaian, kota yang tidak pernah terbayangkan didalam benaknya selama ini. Namun lagi-lagi liku-liku hidup kembali menghadang, kali ini ia tidak diperbolehkan meninggal dan dikuburkan di Berlin. Aturan pemerintah setempat melarang warganya meninggal dan menguburkan jasad di Berlin dengan alasan, semua areal pemakaman sudah penuh dengan pengecualian mempunyai area pemakaman pribadi.
Surga Dunia
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109