[caption id="attachment_310852" align="aligncenter" width="275" caption="Vandalisme kabel milik Telkom"][/caption]
Sore menjelang malam. Sekelompok mahasiswa membakar ban dibeberapa persimpangan jalan. Kumpulan anak-anak muda ini kemudian semakin anarkis dan selanjutnya merusak beberapa fasilitas umum diseperti lampu jalan dan pos penjagaan. Peristiwa lain, halte busway trans Medan yang dibangun disepanjang Jalan Gatot Subroto, kupak-kapik dirusak oknum tak dikenal (OTK). Lalu ada lagi, pencurian kabel dan tiang telepon, kabel dan batrree BTS milik operator telekomunikasi sampai besi rel kereta api. .
Beberapa contoh peristiwa di atas adalah kasus vandalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi vandalisme ialah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya). Menurut kamus Webster, definisi vandalism ialah willful or malicious destruction or defacement of thing of beauty or of public or private property. Yaitu, perusakan atau menjadikan jelek dengan sengaja terhadap benda-benda yang indah serta benda-benda yang menjadi fasilitas umum atau milik pribadi.
Pelaku vandalisme ini sebenarnya sudah termasuk kegiatan kejahatan ringan, karena sifatnya merugikan pihak tertentu dan mengganggu kenyamanan umum. Kebanyakan pelaku vandalisme adalah kalangan remaja yang sedang tumbuh dengan kematangan yang masih rendah dan sedang masih mencari identitas diri atau jati dirinya.
Perilaku negatif ini biasanya muncul karena lingkungan mereka memberi contoh bagaimana vandalisme ini tumbuh secara permisif. Secara psikologis, gejala vandalisme sudah merambah luas pada masyarakat Indonesia disebabkan oleh ketegangan jiwa. Himpitan beban ekonomi yang kian berat, kecemasan menghadapi masa depan yang tidak menentu, dan kegusaran telah mendorong timbulnya tekanan kejiwaan, yang kadarnya dapat meningkat cepat hingga ke tingkat yang tidak terkendali, kemudian meledak dalam bentuk kemarahan, keberingasan, dan menjurus kepada berbagai bentuk perbuatan destruktif yang meresahkan dan merugikan orang.
Saat ini, di Kota Medan, kasus vandalisme ( pencurian aset negara ) marak dan sulit dikendalikan. Ada tiga modus yang dapat kita catatkan di sini. Pertama adalah prilaku. Merusak lampu jalan, halte bis, telepon umum sesungguhnya tidak mendapatkan keuntungan material kecuali keisengan yang menimbulkan kesenangan telah merusak benda-benda yang sesungguhnya sangat berguna bagi orang lain. Kedua, faktor ekonomi. Peristiwanya sporadis dilakukan oleh OTK secara perorangan dengan faktor ekonomi tapi ada juga yang terkoordinir dan dibackup oknum tertentu. Ketiga, modus persaingan bisnis. Modus ini diketahui dengan bukti lapangan yang tidak mengambil material dalam jumlah banyak tetap lebih diduga sebagai merusak kualitas layanan kompetitornya.
Vandalisme yang dilatarbelakangi faktor ekonomi, sesungguhnya mudah diatasi dengan mengurut proses pasca kejadian. Rel besi, kabel listrik, kabel telepon dan material-material yang memiliki nilai jual pastilah akan dilego kepenampungnya. Penadah biasanya adalah pedagang butut yang banyak berlokasi pinggiran kota. Di gudang penampungan ini, beraneka-jenis barang rongsokan ( sebagian hasil vandalisme ) ditimbun dan kemudian diproses (daurulang) untuk kembali di pasarkan dan bentuk berbeda.
Besi rel kereta api biasanya dicincang kecil. Kabel telepon (tembaga) lebih dulu dibakar dan kuningannya dijual kiloan. Demikian juga batree dari BTS milik operator sering diurai dengan hanya mengambil sel-sel batree untuk dipindahkan kemedia yang lain.
Pedagang botot atau pedagang pengumpul barang bekas ini seyogianya harus ditata lebih tertib. Pengawasan dan penegakan sanksi hukum harus dilakukan oleh kepolisian untuk mencegah mereka menerima barang tadahan asal vandalisme. Selama penampung ini membuka pintu terhadap hasil vandalisme ini maka kasus ini sulit dihentikan. Masalahnya adalah, aparat kepolisian sering “ setengah hati” mengawasi pedagang bekas ini bahkan pedagang bekas ini memiliki backing aparat.
Sesungguhnya nilai jual dari vandalisme ini tidak besar bila dibandingkan dengan kerugian sosial yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait. Pencurian rel kereta api, misalnya, harga jualnya besinya taklah sebereap tapi risikonya adalah : kecelakaan yang menyebabkan kematian dalam jumlah banyak. Sakin kuatirnya terhadap kasus pencurian rel kereta api ini, pemerintah sampai akan memasang rel KA Anti-Vandalisme. Pemasangan rel anti-vandalisme sebagai langkah untuk mengantisipasi perusakan seperti yang belakangan ini sering terjadi.
Kerugian sosial paling dirasakan adalah oleh pengguna jasa telepon dan internet. Sebagai pelanggan Telkom mereka sering resah mengumpati operator telekomunikasi itu karena seringnya layanan mereka terganggu. Pihak Telkom sendiri tidak bisa berbuat banyak karena vandalisme kabel telepon terjadi hampir setiap hari. Bahkan dibeberapa lokasi, kabel yang baru direcovery, dicuri lagi beberapa hari kemudian. Kerugian sosial tidak sedikit karena akibat terputusnya jaringan telepon, drringg telepon sepi. Internet tak bersinyal dalam waktu lama.
Asset Negara
Vandalisme harus dicegah. Dengan membiarkan vandalisme sama dengan membiarkan hilangnya aset negara. Mencegah terjadinya vandalisme harus dilakukan semua pihak. Tidak saja oleh perusahaan atau pengelola asset itu. Perusahaan atau pengelolaa aset memiliki keterbatasan untuk mengawasi aset yang jumlah dan lokasinya sangat banyak. Mengawasi sepanjang rel kereta api adalah mustahil dilakukan PT KAI. Demikian juga dengan PT Telkom adalah mustahil menjaga jaringan kabel yang panjangnya ribuan kilometer.
Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mendorongan pihak lain untuk peduli mengawasi aset negara. Rel KA, kabel telepon, kabel listrik, material PDAM, lampu jalan, dll adalah milik negara dan harus diawasi oleh aparat yang ada dimana pun ia berada. Polisi, TNI, Lurah sampai Kepling seharusnya peduli dan memberikan perhatian agar aset negara yang juga menjadi infrastruktur kota / kabupaten itu dapat terjaga agar dapat memberikanan layanan yang baik kepada semua warga yang menggunakannya.
Menumbuhkan kesadaran aparat pemerintah dan warga masyarakat untuk mau peduli terhadap aset milik negara tentu saja tidak bisa dilakukan seperti membalik telapak-tangan. Butuh waktu untuk edukasi. Komunikasi antara aparat pemerintahan dengan warga memang harus dilakukan lebih intensif agar warga memahami bahwa aset negara yang bertebar disekitarnya juga adalah tanggungjawab mereka untuk diawasi.
Bagi instansi, perusahaan dan pengelola infrastruktur diharapkan untuk tidak menyerah dengan kondisi yang masih carut-marut ini. Ide dan gagasan harus didiskusikan dan dikembangkan bersama. Pengembangan rel kereta api anti vandalisme, pengembangan alarm pencurian kabel telepon, pemasangan CCTV diberbagai lokasi strategis dan kemauan aparat kepolisian untuk tegas mengawasi dan menindak semua proses vandalisme itu tetaplah menjadi kata kunci.
Penutup
Kondisi saat ini, warga memang lebih banyak tak peduli. Banyak peristiwa disekitar mereka yang dibiarkan berlalu padahal sesungguhnya ia bisa memberikan atensi untuk menyelamatkannya. Bahkan banyak peristiwa, dengan sengaja merusak fasilitas umum ( aset negara ) tanpa alasan yang jelas.
Dalam kondisi yang masih carut-marutnya keamanan fasilitas umum ( aset negara) hendaknya muncul kepedulian bersama antar instansi pemerintah dan pihak swasta untuk mendorong terbentuknya ide dan kerja bersama. Dengan ide dan kerja bersama ini bisa ditemukan formula yang tepat dalam meningkatkan pengawasan dan kepedulian semua pihak terhadap keselamatan aset negara itu.
Barangkali bukan mimpi bila suatu saat nanti, kota tercinta ini dapat menjadi kota dengan aset negara yang aman dan nyaman buat warganya, seperti yang saat ini terjadi di kota-kota di negara yang maju peradabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H