Bab 5: Para Penari di Panggung Virtual dan Hantu-Hantu Inflasi
(Sebuah Tragikomedi tentang Mata Uang Hantu, Revolusi AI, dan Rakyat yang Terjebak di Antara Pixels)
Di atas panggung hologram yang melayang di antara Menara Kaca dan Gunung Utang, para penari muncul. Mereka bukan manusia, tapi avatar-avatar gemerlap dengan wajah hasil deepfake para pemimpin dunia. Musiknya? Lagu "Stablecoin Waltz" yang dimainkan oleh orkestra algoritma. Penontonnya: para oligark yang duduk di kursi emas VR, sambil sesekali melempar NFT bunga ke panggung.
"Selamat datang di Ekonomi Met*****se!" teriak Sang Host, sosok AI berwajah mirip Elon M****k tapi dengan logat Jawa. "Di sini, inflasi hanya angka di spreadsheet! PHK hanya bug sementara! Dan utang... oh, utang adalah seni!"
Mata Uang Hantu dan Dompet yang Menangis
Di bawah panggung, di dunia nyata, seorang ibu bernama Siska membuka dompetnya. Isinya:
- Koin "Pahlawan Ekonomi" (diberikan pemerintah karena ia bertahan jualan gorengan selama pandemi). Nilainya? Sekadar badge di aplikasi e-wallet.
- Kupon "Bansos Digital" yang kadaluarsa jika tidak di-redeem sebelum tengah malam.
- Receipt utang mikro dari fintech bertuliskan: "Anda berhutang Rp 1,2 juta. Bila tak sanggup bayar, kami akan menyanyi di T***T***-mu."
"Dulu uangku masih bisa beli sekarung beras," bisiknya. Kini, ia harus scan QR code di langit-langit tenda jualannya untuk "mengaktifkan" diskon beras virtual. Tapi sinyal internet lemah, dan diskonnya hangus.
Revolusi AI: Mesin yang Menjadi Menteri