"Ajaib!" Carlos tertawa gembira saat memetik buah pertama. Tapi ketika dijual ke pasar, harganya jatuh 70%. "Stimulus anggur dari ECB membanjiri pasar," kata pedagang, sambil menyodorkan katalog NFT anggur digital. "Ini masa depan, Carlos! Jual kebunmu, bergabunglah dengan kami!"
Carlos memandangi anak perempuannya yang kurus---perutnya keroncongan, matanya menatap kosong. Malam itu, dia menjual kebunnya ke perusahaan Prancis dan menanam NFT di metaverse. Tapi yang tumbuh hanyalah angka-angka tak berarti, sementara anaknya menangis karena lapar.
Lagu Pengantar Tidur dari Negeri Nusantara
Di timur, di sebuah kota kecil di Jawa, Dewa BI---bersorban batik bermotif "Stabilitas Makroprudensial"---berdiri di pinggir jalan. Tangannya memainkan seruling bambu, melantunkan nada-nada manis tentang "kredit UMKM" dan "bunga rendah". Suaranya merayu seperti lagu pengantar tidur.
Pak J**, pedagang bakso keliling, mendekat. "Pinjam lima puluh juta, Bu Dewa? Untuk beli gerobak baru?"
"Tentu," jawab Dewa BI tersenyum, "kami peduli pada rakyat kecil." Tapi senyumnya tak sampai ke mata.
Dua bulan kemudian, Pak J** duduk di tepi jalan. Gerobak barunya---dicat warna-warni dengan tulisan "Bakso Digital"---kosong melompong. "Laris di online, tapi kok untungnya hilang?" keluhnya. Aplikasi pemesanan mengambil 30%, bunga bank 15%, dan pajak daerah 10%. Yang tersisa hanya cukup untuk beli tepung tapioka.
Sementara itu, di Menara Sudirman, seorang konglomerat tertawa lepas. Dia baru saja membeli 100 gerobak bakso virtual di metaverse---dengan uang pinjaman BI yang bunganya nyaris nol.
Bayangan yang Tak Pernah Pergi
Maria, di Brook***, kini duduk di tepi halte bus. Tangannya menggenggam abu dolar yang sudah dingin. Di kejauhan, Menara Kaca Wall Street masih berkilauan, seperti istana dongeng yang tak pernah bisa disentuh.
"Mengapa?" bisiknya pada angin.