Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

2025 = Tahun Kematian Ekonomi?

17 Maret 2025   12:13 Diperbarui: 17 Maret 2025   12:13 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Di tengah hiruk-pikuk pemulihan pasca-pandemi, sebuah narasi suram mulai mencuat: tahun 2025 akan menjadi "tahun kematian ekonomi". Istilah ini, yang terdengar hiperbolis dan menakutkan, menggambarkan skenario di mana ekonomi global mengalami keruntuhan sistemik, dipicu oleh kombinasi utang yang tak terkendali, inflasi yang melonjak, ketegangan geopolitik, dan dampak perubahan iklim. Namun, benarkah prediksi ini lebih dari sekadar sensasionalisme? Ataukah kita sedang menghadapi ancaman nyata yang harus diwaspadai? Mari kita telusuri lebih dalam.

Utang Global: Bom Waktu yang Menunggu Meledak?

Salah satu pilar utama dari narasi "kematian ekonomi" adalah tingginya tingkat utang global. Menurut Institute of International Finance (IIF), utang global telah melampaui 300% dari PDB dunia pada 2023. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan negara-negara Eropa memikul beban utang yang besar, sementara negara berkembang seperti Sri Lanka dan Zambia sudah terjerembap dalam krisis utang.

Utang yang berlebihan bukan hanya membatasi ruang gerak pemerintah dalam merespons krisis, tetapi juga meningkatkan kerentanan terhadap guncangan eksternal. Misalnya, kenaikan suku bunga oleh The Fed dan bank sentral lainnya telah membuat biaya pinjaman melonjak, menekan anggaran pemerintah dan bisnis. Jika tren ini terus berlanjut, kita bisa melihat gelombang default utang pada 2025, yang akan memicu krisis keuangan global.

Inflasi dan Stagflasi: Ancaman yang Mengintai

Inflasi telah menjadi momok bagi banyak negara pasca-pandemi. Gangguan rantai pasok, lonjakan permintaan, dan kenaikan harga energi telah mendorong inflasi ke level yang mengkhawatirkan. Di AS, inflasi mencapai level tertinggi dalam 40 tahun pada 2022, sementara di Eropa, kenaikan harga energi akibat perang di Ukraina telah memperparah situasi.

Bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi, tetapi langkah ini berisiko memicu resesi. Sejarah menunjukkan bahwa kombinasi inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lambat---dikenal sebagai stagflasi---sangat sulit diatasi. Pada 1970-an, stagflasi memicu krisis ekonomi yang dalam dan berkepanjangan. Jika kita tidak berhati-hati, 2025 bisa menjadi pengulangan sejarah yang suram.

Ketegangan Geopolitik: Pemecah Belah Global

Ketegangan geopolitik antara AS, China, dan Rusia telah menciptakan ketidakpastian yang besar bagi ekonomi global. Perang dagang, sanksi ekonomi, dan nasionalisme ekonomi semakin mengganggu perdagangan global dan rantai pasok. Menurut laporan World Trade Organization (WTO), pertumbuhan perdagangan global pada 2023 hanya mencapai 1%, jauh di bawah rata-rata historis.

Ketegangan ini tidak hanya memengaruhi arus barang dan jasa tetapi juga mengancam stabilitas sistem keuangan global. Misalnya, sanksi terhadap Rusia telah mengganggu pasokan energi ke Eropa, sementara persaingan AS-China di bidang teknologi telah memicu fragmentasi dalam rantai pasok global. Jika ketegangan ini terus berlanjut, 2025 bisa menjadi tahun di mana globalisasi mengalami kemunduran signifikan.

Perubahan Iklim: Krisis dalam Krisis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun