Dalam lanskap geopolitik global yang terus berubah, kedaulatan energi telah menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga kedaulatan negara, khususnya dalam mendukung industri pertahanan nasional. Sebagai negara dengan potensi energi yang melimpah, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memastikan sumber daya energi tidak hanya cukup untuk kebutuhan domestik, tetapi juga mampu mendukung operasionalisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).Â
Bagaimana negara ini dapat mewujudkan kemandirian energi yang selaras dengan pengembangan sektor pertahanan menjadi persoalan strategis yang membutuhkan perhatian lintas sektor.
Konteks Global dan Nasional
Industri pertahanan merupakan sektor yang paling bergantung pada energi, mulai dari bahan bakar untuk kendaraan militer, pembangkit listrik bagi pangkalan militer, hingga kebutuhan energi untuk manufaktur alutsista. Ketergantungan terhadap energi fosil, yang sebagian besar masih diimpor, menjadi salah satu titik lemah Indonesia.
 Misalnya, data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sekitar 25% kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) masih dipenuhi melalui impor pada 2023. Ketergantungan ini tidak hanya membebani anggaran negara, tetapi juga menempatkan pertahanan nasional pada posisi rentan terhadap dinamika harga energi global.
Sebagai perbandingan, negara seperti Rusia dan Amerika Serikat telah lama memanfaatkan kekuatan energi domestiknya untuk menopang sektor pertahanan mereka. Rusia, misalnya, menggunakan cadangan gas alamnya untuk mendukung teknologi pertahanan berbasis energi rendah, sementara Amerika Serikat mengembangkan biofuel sebagai bahan bakar alternatif untuk jet tempur.Â
Indonesia dapat belajar dari model ini untuk menciptakan pendekatan yang lebih terintegrasi antara kedaulatan energi dan penguatan sektor pertahanan.
Tantangan yang Dihadapi
Ada sejumlah tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan energi di sektor pertahanan. Pertama, keterbatasan infrastrukt
ur energi domestik. Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi, pemanfaatannya masih minim. Menurut laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), hanya 2,5% dari total potensi energi terbarukan di Indonesia yang telah diolah menjadi energi listrik.
Kedua, birokrasi dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung sinergi antara sektor energi dan pertahanan. Sebagai contoh, regulasi mengenai distribusi bahan bakar minyak masih didominasi oleh kebijakan komersial, sehingga sulit untuk memastikan pasokan energi yang stabil untuk keperluan militer di wilayah terpencil.