Dalam era globalisasi yang kian mendalam, industri pertahanan menjadi salah satu sektor strategis yang menghadapi tekanan besar. Integrasi ekonomi dunia, revolusi teknologi, dan dinamika geopolitik menciptakan tantangan kompleks yang menuntut inovasi dan kebijakan yang adaptif. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, tidak luput dari arus globalisasi ini. Namun, tantangan yang muncul memberikan peluang unik untuk memperkuat kemandirian dan daya saing industri pertahanan nasional.
Dampak Globalisasi pada Industri Pertahanan
Globalisasi, pada satu sisi, membuka peluang untuk kolaborasi internasional. Banyak negara kini berbagi teknologi, sumber daya, dan keahlian untuk memperkuat sektor pertahanan. Namun, di sisi lain, ketergantungan terhadap negara lain dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan nasional. Indonesia, misalnya, masih bergantung pada impor alutsista dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan strategis, terutama ketika terjadi ketegangan politik global yang dapat mengganggu pasokan atau menaikkan biaya pengadaan.
Sebagai contoh, embargo militer yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia pada akhir 1990-an menjadi pelajaran penting. Ketika itu, kekuatan militer Indonesia merosot drastis karena terbatasnya akses terhadap suku cadang pesawat tempur dan kapal perang. Kejadian tersebut menggarisbawahi pentingnya kemandirian dalam sektor pertahanan, meskipun di tengah arus globalisasi yang menawarkan efisiensi melalui perdagangan bebas.
Teknologi dan Revolusi Industri 4.0
Dalam konteks industri pertahanan, revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan signifikan. Teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), drone, dan cybersecurity kini menjadi komponen utama dalam strategi pertahanan modern. Namun, mengadopsi teknologi ini bukan tanpa tantangan. Biaya penelitian dan pengembangan (R&D) yang tinggi, keterbatasan sumber daya manusia yang terampil, dan kurangnya investasi dalam inovasi lokal menjadi penghalang besar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di tengah situasi ini, keberhasilan Turki dalam membangun industri drone domestik dapat menjadi inspirasi. Dengan pengembangan drone Bayraktar TB2, Turki tidak hanya mengurangi ketergantungannya pada impor tetapi juga menjadi salah satu eksportir utama drone militer dunia. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pendekatan ini dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, industri lokal, dan lembaga penelitian untuk mendorong inovasi berbasis teknologi.
Peluang Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun industri pertahanan yang mandiri. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia memiliki pasar domestik yang luas untuk produk-produk pertahanan. Selain itu, posisi geografis Indonesia yang strategis di jalur perdagangan internasional memberikan keuntungan dalam menjalin kerja sama militer dengan negara-negara lain.
Salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah meningkatkan peran BUMN seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini memiliki kapasitas untuk memproduksi alutsista seperti senjata ringan, kapal perang, dan pesawat militer. Namun, tantangan yang dihadapi adalah rendahnya efisiensi produksi dan kurangnya daya saing dibandingkan dengan produk asing. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar untuk R&D dan mendorong integrasi teknologi modern dalam proses produksi.
Contoh konkret lainnya adalah keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangkan industri pertahanannya. Melalui kebijakan transfer teknologi dan investasi besar dalam pendidikan serta pelatihan, Korea Selatan kini mampu memproduksi kapal selam, pesawat tempur, dan tank dengan kualitas tinggi. Pendekatan ini relevan untuk diterapkan di Indonesia, terutama dalam membangun kapasitas teknis dan keahlian lokal.