Dalam dinamika geopolitik yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, kemampuan sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatannya menjadi elemen yang sangat krusial. Indonesia, dengan posisi strategisnya di antara dua samudra dan dua benua, menghadapi tantangan besar dalam menjaga integritas wilayahnya. Salah satu langkah penting yang dapat memperkuat kemampuan pertahanan negara adalah melalui pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) lokal yang inovatif dan mandiri. Langkah ini tidak hanya berimplikasi pada kedaulatan militer tetapi juga membuka peluang untuk memperkuat sektor industri nasional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing di kancah global.
Mengapa Alutsista Lokal?
Ketergantungan pada impor alutsista sering kali membawa risiko strategis. Dalam situasi konflik atau ketegangan diplomatik, pemasok asing dapat memberlakukan embargo atau membatasi akses ke teknologi tertentu. Hal ini pernah dialami Indonesia pada era 1990-an, ketika embargo militer dari Amerika Serikat menyebabkan keterbatasan operasional pesawat tempur F-16 dan sistem senjata lainnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk memproduksi dan mengembangkan alutsista secara mandiri menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko tersebut.
Selain itu, pengembangan alutsista lokal memungkinkan negara untuk menyesuaikan teknologi dengan kebutuhan spesifik geografis dan operasional. Contohnya, desain kapal perang atau kendaraan militer dapat disesuaikan dengan kondisi perairan Indonesia yang memiliki karakteristik unik, seperti banyaknya selat sempit dan arus yang kuat. Penyesuaian ini sulit dilakukan jika mengandalkan produk impor yang sering kali dirancang untuk kebutuhan wilayah pemasoknya.
Inovasi sebagai Pilar Utama
Pengembangan alutsista lokal tidak hanya soal produksi tetapi juga inovasi. Inovasi mencakup adopsi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), robotik, dan sistem otomatisasi. Dalam konteks ini, Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) TNI dan BUMN seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia memainkan peran kunci.
PT Pindad, misalnya, telah menghasilkan beberapa produk unggulan seperti senapan serbu SS2 dan kendaraan tempur Anoa yang digunakan dalam berbagai operasi militer maupun misi perdamaian internasional. Anoa, kendaraan tempur buatan lokal, telah mendapatkan pengakuan internasional berkat kemampuannya yang andal di berbagai medan. Kendaraan ini bahkan telah diekspor ke beberapa negara, menunjukkan bahwa alutsista buatan Indonesia memiliki potensi untuk bersaing di pasar global.
Namun, inovasi ini memerlukan investasi besar dalam riset dan pengembangan (R&D). Pemerintah perlu menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung pengembangan teknologi militer. Selain itu, kolaborasi dengan universitas dan pusat penelitian independen juga diperlukan untuk mendorong kemajuan teknologi.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara yang telah sukses mengembangkan industri alutsista mandiri. Korea Selatan, misalnya, menjadi salah satu contoh yang relevan. Negara ini berhasil mengembangkan teknologi militer canggih seperti kapal selam dan pesawat tempur melalui kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga riset. Pesawat tempur KAI KF-21 Boramae adalah hasil dari visi jangka panjang untuk menciptakan kemandirian dalam teknologi udara.
Turki juga menunjukkan keberhasilan melalui pengembangan drone tempur Bayraktar TB2 yang terkenal. Drone ini tidak hanya meningkatkan kapabilitas pertahanan Turki tetapi juga menjadi komoditas ekspor yang sangat diminati. Keberhasilan ini didukung oleh strategi pemerintah yang memberikan insentif bagi perusahaan lokal untuk berinvestasi dalam teknologi pertahanan.