Bagi penulis, buku adalah lebih dari sekadar hasil karya. Ia merupakan wujud dari curahan ide, perasaan, dan pemikiran yang terangkai menjadi sebuah narasi, teori, atau kisah yang bermakna.Â
Namun, di balik segala kerumitan proses kreatif itu, ada satu persoalan klasik yang selalu menjadi keluhan penulis di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini: royalti.
Royalti bagi penulis seharusnya menjadi bentuk penghargaan atas karya yang telah mereka persembahkan kepada publik. Tetapi, realitas yang dihadapi sering kali jauh dari kata ideal.Â
Banyak penulis yang terjebak dalam sistem yang membuat mereka sulit memperoleh pendapatan yang layak dari karya mereka sendiri. Bahkan, ada yang menyebut bahwa menjadi penulis di negeri ini adalah sebuah perjuangan tanpa akhir.
Royalti, antara Harapan dan Kenyataan
Secara teori, royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada penulis sebagai imbalan atas hak cipta mereka, biasanya dihitung sebagai persentase dari harga jual buku.Â
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa royalti yang diterima penulis sering kali sangat kecil. Di negeri ini, umumnya penulis hanya mendapatkan royalti sekitar 8-12 persen dari harga jual buku.Â
Jadi dengan harga buku rata-rata berkisar antara Rp50.000 hingga Rp100.000, seorang penulis hanya mendapatkan Rp4.000 hingga Rp12.000 per buku yang terjual.
Sistem royalti ini menjadi lebih problematik ketika distribusi dan pemasaran buku tidak berjalan maksimal. Banyak buku yang sulit mencapai toko-toko buku besar atau bahkan platform daring, membuat penulis kesulitan menjangkau pembaca yang lebih luas.Â