Di sudut stasiun yang bisu,
terdengar gemericik hujan pertama,
menyapa lantai dingin berbalut debu,
mengguratkan jejak kenangan yang lama terpendam.
Perempuan itu berdiri diam,
dalam sepi yang mengalir deras,
menghadap rel-rel panjang yang tak berujung,
seakan menggambar garis nasib yang entah di mana berpangkal.
Tatapannya mengiris jarak,
menerobos kabut waktu yang samar,
mencari sosok yang dijanjikan datang,
namun entah mengapa tak pernah pulang.
Kereta-kereta berlalu,
mengusung cerita orang-orang yang bersua,
namun baginya, yang dinanti seperti hilang,
terbawa angin, atau mungkin tenggelam dalam derasnya arus waktu.
Ada rindu yang bertumpuk di dadanya,
seperti gunung es yang terbenam di samudra,
tak pernah mencair, tak pernah pecah,
hanya membeku dalam kesunyian yang tak bertepi.
Di tengah keramaian yang seolah-olah tak peduli,
ia adalah satu-satunya yang tak beranjak,
karena baginya, penantian adalah sebuah janji,
yang dipegang erat meski tak ada kepastian di ujung hari.
Adakah yang lebih sunyi dari menunggu?
Saat detik-detik berdentang tanpa irama,
saat angin membelai tanpa pesan,
dan langit pun kian kelam, tanpa isyarat.
Ia bertanya pada dirinya sendiri,
apakah kekasih yang dinanti merasakan hal yang sama?
Ataukah janji itu telah luluh di sela waktu,
di antara keramaian yang mungkin melupakannya?
Namun ia tak beranjak,
karena harapan itu, meski rapuh,
tetap hidup, bernafas dalam diam.
Di tiap helaan nafas, ia menemukan kekuatan baru,
meski dunia seakan menertawakan.
Setiap kereta yang datang membawa gemuruh,
membuat jantungnya berdegup sesaat,
namun saat pintu-pintu itu terbuka,
tak ada sosok yang diimpikan,
tak ada wajah yang ia tunggu,
hanya bayang-bayang yang kian pudar.
Malam datang membawa selimut gelap,
dan perempuan itu masih di sana,
dalam penantian yang entah kapan akan berakhir.
Ada cinta yang diam-diam tumbuh dalam sepi,
sebuah keyakinan yang tak lekang meski digerus waktu.