Udara malam di awal Januari itu terasa berbeda. Di tengah kerlip lampu-lampu kristal yang menggantung elegan, di sebuah ballroom penuh gemerlap, ada cahaya lain yang tidak biasa. Cahaya itu terpancar dari dua pasang mata yang menyimpan kilasan cerita hidup panjang. Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata tengah merayakan pernikahan berlian mereka---60 tahun bersama, sebuah pencapaian langka dan penuh makna.
Dalam diam yang tenang, ruangan ballroom seakan menghela napas bersama. Di meja-meja bundar yang penuh dengan tamu, terdengar bisik-bisik kekaguman. Bukan hanya pada gemerlap gaun dan jas yang dikenakan, tapi lebih pada kilasan sejarah yang terselip di setiap gerakan keduanya. Malam itu, bukan hanya pesta mewah yang dirayakan, melainkan juga kebijaksanaan waktu, keabadian cinta, dan keharmonisan dua jiwa yang berjalan seiring selama enam dekade.
Opa Tjiptadinata, pria sepuh dengan rambut yang sudah seluruhnya memutih, berdiri tegap di samping istrinya. Di wajahnya, guratan keriput tak mengurangi sedikit pun ketegasan tatapannya. Seolah-olah dalam setiap garis wajah itu, ada kisah yang ingin diungkapkan. Oma Roselina, dalam balutan gaun satin biru, tampak mempesona. Usia senja tak mampu menutupi aura anggunnya. Seolah waktu hanya bermain-main di sekitar mereka, membiarkan cinta mereka tetap bersinar seterang berlian.
"Cinta adalah berlian, kuat dan tak tergantikan," bisik Opa suatu malam kepada cucunya. Kata-kata itu bergema dalam hati siapa pun yang mendengar, terutama bagi Oma, yang selalu tersenyum kecil setiap kali Opa melontarkan kalimat puitisnya. Di balik sosoknya yang kerap diam, Opa menyimpan banyak filosofi hidup yang ia ungkapkan dengan cara sederhana. Filosofi yang lahir dari ribuan hari bersama, melewati badai dan hujan, menembus matahari terik, hingga kini berdiri di bawah langit senja yang damai.
Seperti berlian, cinta mereka terasah oleh waktu. Mulai dari pertemuan pertama yang sederhana di masa muda, ketika mereka masih belia. Pertemuan itu tak seperti kisah cinta di novel-novel romantis. Tidak ada drama atau kejutan besar. Hanya pertemuan dua hati yang tahu bahwa mereka dilahirkan untuk berjalan bersama. Kala itu, kehidupan tidak selalu mudah. Opa, seorang pengusaha muda yang gigih, berjuang meniti karirnya di tengah derasnya arus perubahan sosial dan ekonomi. Sementara Oma, seorang wanita cerdas yang penuh kasih, mendampingi dengan penuh kesabaran.
Di usia pernikahan yang menginjak enam puluh tahun, apa yang mereka miliki jauh lebih berharga daripada segala materi dunia. Cinta yang mereka jaga telah melewati banyak ujian. Kematangan mereka tidak terbentuk dalam semalam, melainkan melalui setiap harapan yang dipupuk bersama, setiap kecewa yang disembuhkan, setiap tawa yang dibagikan, dan setiap air mata yang dihapus dalam keheningan.
"Apa rahasia bertahan bersama selama ini?" seorang jurnalis muda bertanya pada Opa di sela-sela acara. Opa hanya tersenyum tipis. "Tidak ada rahasia, hanya keinginan untuk selalu mendengarkan."
Jawaban itu sederhana, namun mengandung kedalaman luar biasa. Mendengarkan tidak hanya berarti mendengar kata-kata, tetapi juga memahami perasaan, menghargai diam, dan merayakan keberadaan satu sama lain. Mendengarkan adalah seni yang semakin langka di era serba cepat ini. Namun, Opa dan Oma telah menjadikannya dasar hubungan mereka.
Dalam seni kontemporer yang terus berkembang, pernikahan mereka menjadi representasi dari keindahan yang tidak lekang oleh zaman. Di tengah derasnya arus perubahan gaya hidup dan pola pikir modern, di mana kecepatan dan instan sering kali mendominasi, mereka tetap bertahan dengan prinsip yang sama: cinta yang mendalam, kesabaran yang tak terbatas, dan komitmen untuk terus bersama.
Kilasan berlian yang memancar dari pernikahan ini adalah kilasan harapan bagi generasi muda, bahwa cinta sejati tidak membutuhkan kemewahan, tapi ketulusan dan pengorbanan. Layaknya karya seni besar, pernikahan mereka adalah hasil dari proses panjang yang penuh kerja keras dan dedikasi. Mungkin, itulah yang membuatnya begitu indah untuk dilihat, dipahami, dan dihayati.
Malam semakin larut, namun kilau cinta mereka tetap menerangi ruangan. Di tengah tepuk tangan para tamu, Opa meraih tangan Oma, menuntunnya perlahan ke tengah ruangan. Musik klasik mulai mengalun pelan. Tanpa banyak kata, mereka mulai berdansa. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, namun setiap gerakan tampak begitu harmonis, seolah-olah tubuh mereka masih dalam puncak kemudaan. Di mata para tamu, pemandangan itu adalah tarian cinta yang abadi, tarian yang terus berputar, meski waktu telah mencoba mengusik.