Di kanvas waktu, tergores lembut,
Sapuan kasih yang tak pernah usai.
Penuh warna---merah hangat, biru tenang,
Dari goresan pertama hingga akhir yang belum terlihat.
Lukisan ini bukan karya biasa,
Ini adalah potret jiwa,
Dua hati yang saling terpaut,
Melebur dalam harmoni,
Mengalun pelan, namun tak pernah padam.
Opa Tjiptadinata dan Oma Roselina,
Adalah pelukis dalam kehidupan,
Mengukir kasih dengan garis penuh makna,
Menjalin simpul kebersamaan yang tak tersentuh usia.
Lima puluh tahun,
Bukan sekadar angka di kalender.
Itu adalah musim-musim yang dilewati bersama,
Diwarnai tawa, tetesan air mata,
Dan cerita yang hanya bisa diungkap oleh hati.
Waktu mungkin telah menua,
Namun cinta tetap segar,
Seperti kanvas putih yang terus menerima warna,
Dari setiap hari yang dirimu berdua lalui.
Ada badai yang pernah datang,
Mencoba memudarkan warna-warna cerah,
Namun dirimu berdua, dengan tangan yang lembut dan kuat,
Terus menyapukan cinta,
Memperbaiki setiap celah, merangkai lagi setiap retak.
Dalam setiap sentuhan,
Terlihat cinta yang tak tergantikan.
Seperti cat minyak yang mengering dalam waktu,
Menjadi semakin kokoh, semakin indah.
Kini, di usia senja,
Lukisan cinta dirimu berdua telah menjadi mahakarya.
Bukan hanya bagi dirimu berdua berdua,
Namun bagi generasi yang menyaksikan,
Bahwa cinta sejati tak pernah usang,
Ia terus tumbuh, terus bersinar.
Di bawah sinar matahari senja,
Kilau berlian menjadi saksi,
Bukan hanya dari ikatan janji di masa lalu,
Namun dari setiap detik yang dirimu berdua rajut bersama,
Dalam kesetiaan yang tak pernah surut.
Cinta dirimu berdua, Opa dan Oma,
Adalah lukisan abadi,
Di mana setiap goresan menciptakan cerita baru,
Setiap warna menjadi simbol keabadian.
Dan dalam lukisan itu,
Tak ada akhir.
Karena cinta adalah keabadian itu sendiri,
Seperti kanvas yang terus terbuka,
Menunggu setiap sapuan baru,
Menyambut setiap warna baru,
Menjadi karya yang tak terukur nilainya.