Kilau berlian terpantul di sudut mata,
Menari dalam senyum senja yang berdua.
Seperti sungai yang tak pernah kering,
Cinta ini terus mengalir, tak pernah henti menggeliat.
Lima puluh tahun---bukan waktu yang singkat,
Namun dirimu berdua, Opa dan Oma, menari di atas waktu,
Melintasi ribuan hari, melampaui musim berganti,
Memeluk pagi dengan harapan, menggapai malam dengan tenang.
Kilau berlian itu bukan hanya permata,
Namun kenangan yang terpatri di setiap detak,
Langkah-langkah kecil di taman pagi,
Bisikan lembut di senja hari.
Cinta dirimu berdua, Opa Tjiptadinata dan Oma Roselina,
Adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis.
Setiap goresan tangan, setiap hela napas,
Adalah saksi perjalanan, bukti keabadian rasa.
Waktu mungkin berlalu dengan cepat,
Namun kilau cinta tak pernah pudar.
Dalam setiap tatapan, dalam setiap genggaman,
Terlihat janji yang tak pernah tergantikan.
Ada badai yang dirimu berdua lewati,
Ada hujan yang pernah deras menghujam,
Namun seperti berlian yang ditempa api,
Cinta dirimu berdua justru semakin cemerlang.
Kepada dunia, dirimu berdua tunjukkan,
Bahwa cinta bukan sekadar kata,
Tapi kilau abadi yang tak terpadamkan,
Seperti bintang di langit malam yang tenang.
Di atas altar waktu, dirimu berdua berdua berdiri,
Dengan mata yang saling bertaut,
Kilau berlian itu tak hanya simbol,
Tapi nyanyian jiwa yang tak terhenti.
Berlian yang menyala dalam kalbu,
Adalah cinta yang telah menempa dirimu berdua,
Menjadi saksi dari segala suka duka,
Menyatukan jiwa dalam satu detak.
Dan kini, di bawah sinar lembut mentari sore,
Cinta dirimu berdua berkilau lebih terang,
Menyinari jalan yang telah dirimu berdua tapaki,
Menjadi mercusuar bagi generasi yang akan datang.
Opa Tjiptadinata, Oma Roselina,
Dalam dirimu berdua, cinta menemukan rumahnya,
Tak terpadamkan oleh waktu,
Seperti berlian yang abadi,
Cinta dirimu berdua adalah keajaiban yang tak tergantikan.