Pembangunan ekonomi kerap kali dilihat sebagai motor penggerak utama kemajuan suatu bangsa. Melalui pertumbuhan ekonomi, negara-negara dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur. Namun, di balik kemajuan tersebut, sering muncul perdebatan yang tak terelakkan: apakah pertumbuhan ekonomi harus selalu dibayar dengan pengorbanan lingkungan? Fenomena ini, Kita sebut saja sebagai "robohisasi ekonomi," merujuk pada proses pertumbuhan ekonomi yang diiringi oleh degradasi lingkungan yang signifikan. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji apakah robohisasi merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan atau sekadar akibat dari pilihan kebijakan yang keliru.
Robohisasi Ekonomi: Definisi dan Dinamika
Istilah robohisasi dalam konteks ekonomi mengacu pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis. Di Indonesia, contohnya, robohisasi sering terjadi melalui penebangan hutan secara luas, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, atau ekstraksi tambang yang masif. Dalam jangka pendek, aktivitas-aktivitas ini dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang tinggi, seperti peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Namun, dampak jangka panjangnya, seperti penurunan kualitas lingkungan hidup, sering kali diabaikan.
Salah satu contoh nyata dari robohisasi ekonomi adalah percepatan pembangunan infrastruktur di kawasan hutan hujan tropis. Demi membuka jalan bagi perluasan perkebunan atau pertambangan, hutan-hutan ditebang dengan kecepatan yang tak terkendali. Di Kalimantan, misalnya, robohisasi melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya ribuan hektar hutan setiap tahun. Padahal, hutan-hutan ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami yang esensial untuk menanggulangi perubahan iklim. Hilangnya hutan ini bukan hanya berkontribusi pada peningkatan emisi karbon, tetapi juga mempercepat kepunahan berbagai spesies yang hidup di dalamnya.
Lingkungan Sebagai Korban Utama
Dalam model pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan eksploitasi sumber daya alam, lingkungan sering kali menjadi korban utama. Para pelaku ekonomi lebih memfokuskan diri pada keuntungan jangka pendek yang diperoleh dari aktivitas seperti penebangan hutan atau penambangan, sementara biaya ekologis yang muncul cenderung diabaikan. Fenomena ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari tragedy of the commons, di mana sumber daya alam yang bersifat bersama---seperti hutan, sungai, dan udara---dieksploitasi secara berlebihan oleh berbagai pihak tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan secara keseluruhan.
Hilangnya hutan tropis, degradasi tanah, dan polusi air yang terjadi akibat robohisasi ekonomi menyebabkan rusaknya layanan ekosistem yang selama ini kita nikmati secara gratis. Padahal, tanpa ekosistem yang sehat, pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan sulit dipertahankan. Hutan, misalnya, berfungsi sebagai penyedia oksigen, penahan air hujan untuk mencegah banjir, serta habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna. Jika hutan-hutan ini hilang, bencana alam seperti banjir dan longsor akan semakin sering terjadi, merusak infrastruktur, mengancam keselamatan manusia, dan membebani ekonomi dengan biaya rehabilitasi yang tinggi.
Paradoks Pertumbuhan Ekonomi
Paradoks utama yang dihadapi dalam konteks robohisasi ekonomi adalah anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat selalu harus disertai dengan pengorbanan lingkungan. Banyak pihak, termasuk pemerintah dan perusahaan, berpendapat bahwa ekspansi ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam adalah satu-satunya jalan untuk mencapai pembangunan yang cepat. Namun, pandangan ini mulai mendapatkan tantangan serius dari para ekonom ekologis dan ilmuwan lingkungan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus selalu berbanding terbalik dengan keberlanjutan lingkungan. Negara-negara seperti Denmark dan Swedia telah menunjukkan bahwa dengan menerapkan kebijakan yang mendukung ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa menghancurkan lingkungan. Salah satu kuncinya adalah dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan mendorong ekonomi sirkular, di mana limbah dari satu industri dapat diubah menjadi sumber daya bagi industri lain.
Di sisi lain, ada pula model pembangunan ekonomi berbasis pada green economy, di mana pertumbuhan ekonomi direncanakan sedemikian rupa agar selaras dengan pelestarian lingkungan. Pada prinsipnya, green economy berusaha mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dalam setiap aspek kebijakan ekonomi, mulai dari sektor energi hingga pertanian. Ini merupakan jalan tengah yang memungkinkan kita untuk terus berkembang tanpa harus mengorbankan ekosistem yang menopang kehidupan di planet ini.