Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah, sering kali berada di persimpangan antara menjaga kelestarian lingkungan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, hutan tropis yang membentang dari Sumatra hingga Papua memberikan sumbangan besar bagi ekosistem global, menyerap karbon dan menjaga biodiversitas. Namun, di sisi lain, deforestasi yang terus terjadi akibat ekspansi industri, perambahan lahan, serta penebangan liar, telah menciptakan tantangan serius bagi upaya konservasi. Pada konteks ini, dua pendekatan sering kali menjadi wacana utama dalam kebijakan lingkungan: reboisasi dan rohohisasi.
Reboisasi, atau penanaman kembali hutan yang hilang, sudah lama menjadi solusi konvensional yang diusulkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Namun, dalam diskusi yang lebih mutakhir dan holistik, konsep rohohisasi -- yang bisa dimaknai sebagai "penyembuhan spiritual atau pemulihan moral" dalam hubungan manusia dengan alam -- mulai mendapatkan perhatian lebih besar. Disini Kita akan mengeksplorasi, mana yang lebih dibutuhkan Indonesia: upaya fisik seperti reboisasi atau pendekatan lebih mendasar seperti rohohisasi?
Tantangan Reboisasi di Indonesia
Reboisasi, pada dasarnya, bertujuan untuk memperbaiki lahan-lahan yang gundul dan merestorasi fungsi ekologi hutan. Secara teori, reboisasi mampu mengembalikan kemampuan hutan untuk menyerap karbon, menyediakan habitat bagi satwa liar, serta mencegah bencana alam seperti banjir dan longsor. Indonesia, melalui program seperti "Indonesia's Forest and Land Rehabilitation" (GERHAN), telah menanam jutaan pohon sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim.
Namun, pada tataran praktis, efektivitas reboisasi di Indonesia masih sering dipertanyakan. Banyak program reboisasi yang gagal mencapai tujuan jangka panjangnya. Salah satu faktor utamanya adalah kurangnya perawatan pasca-penanaman. Pohon-pohon yang ditanam sering kali tidak dipelihara dengan baik sehingga mereka mati sebelum tumbuh dewasa. Di sisi lain, lahan yang direboisasi sering digunakan untuk tanaman komersial seperti kelapa sawit, yang meski secara teknis meningkatkan tutupan hutan, namun tidak membawa manfaat ekologis yang setara dengan hutan asli.
Selain itu, reboisasi hanya menangani gejala dari masalah yang lebih besar: eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan. Penebangan hutan secara masif masih terus terjadi, terutama untuk pertanian, pertambangan, dan infrastruktur. Dengan demikian, tanpa adanya perubahan mendasar dalam cara kita berinteraksi dengan alam, reboisasi tidak akan cukup untuk menghentikan kerusakan lingkungan.
Rohohisasi: Penyembuhan Moral dan Spiritual
Di tengah berbagai kritik terhadap pendekatan fisik seperti reboisasi, muncul diskursus mengenai rohohisasi, yang menekankan pentingnya pemulihan hubungan moral dan spiritual antara manusia dan alam. Pendekatan ini mengakui bahwa permasalahan lingkungan di Indonesia tidak hanya soal deforestasi atau hilangnya habitat, tetapi juga menyangkut sikap dan mentalitas manusia terhadap alam.
Rohohisasi berangkat dari kesadaran bahwa manusia sering melihat alam sebagai objek eksploitasi semata, tanpa menghargai nilai intrinsik yang dimilikinya. Alam, dalam paradigma kapitalis, dipandang sebagai sumber daya yang dapat diambil tanpa batas. Pendekatan ini berfokus pada upaya membangun kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih luas, dan kerusakan pada alam berarti kerusakan pada diri kita sendiri.
Melalui rohohisasi, masyarakat diajak untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam. Ini tidak hanya berarti menanam lebih banyak pohon, tetapi juga memikirkan kembali cara hidup, konsumsi, dan produksi. Masyarakat diajak untuk menghentikan eksploitasi yang merusak dan beralih ke gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan selaras dengan alam.
Pendekatan Holistik untuk Masa Depan Indonesia