Entah kenapa pagi ini Saya ada ide saja menulis bahwa nampaknya Kita jangan sampai 100% cashless. Era memang digital telah membawa kita ke dalam lanskap ekonomi yang semakin terhubung secara global. Dengan perkembangan teknologi finansial (fintech) yang pesat, transaksi tunai mulai beralih ke transaksi non-tunai atau cashless. E-wallet, QR code, dan berbagai aplikasi pembayaran digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Namun, di tengah semarak kampanye untuk masyarakat yang seratus persen cashless, muncul pertanyaan yang layak kita renungkan bersama: Apakah kita siap meninggalkan uang tunai sepenuhnya?
Berbagai negara maju, termasuk beberapa kawasan di Indonesia, telah mengadopsi sistem pembayaran cashless secara masif. Namun, sebelum tergesa-gesa menuju transisi penuh, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan inklusi keuangan dari langkah ini. Sistem pembayaran yang sepenuhnya cashless mungkin terlihat modern dan efisien, tetapi apakah ini benar-benar solusi terbaik bagi semua lapisan masyarakat?
Kesenjangan Digital dan Inklusi Keuangan
Salah satu tantangan terbesar dari transisi ke sistem cashless adalah kesenjangan digital yang masih signifikan di Indonesia. Meskipun penetrasi internet terus meningkat, tidak semua wilayah dan kelompok masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap teknologi. Di pedesaan dan daerah terpencil, infrastruktur digital belum sepenuhnya tersedia. Hal ini membuat masyarakat di wilayah tersebut rentan tertinggal apabila transaksi tunai dihapuskan sepenuhnya.
Di samping itu, kelompok lansia atau mereka yang belum terbiasa dengan teknologi mungkin mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem pembayaran digital. Bagaimana dengan para pedagang kecil yang sehari-hari hanya mengandalkan transaksi tunai karena keterbatasan pengetahuan tentang e-wallet atau bank digital? Mengharuskan semua transaksi menjadi non-tunai berarti mengeksklusi mereka dari sistem ekonomi yang seharusnya inklusif.
Inklusi keuangan merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kebijakan yang memaksa masyarakat untuk sepenuhnya cashless justru dapat menciptakan ketidaksetaraan baru di antara mereka yang sudah terhubung dengan teknologi dan yang belum. Dalam hal ini, penggunaan uang tunai masih memiliki peran penting untuk menjembatani kesenjangan digital yang ada.
Keamanan dan Ketahanan Ekonomi
Salah satu argumen yang sering diajukan dalam mendukung sistem cashless adalah faktor keamanan. Memang benar bahwa transaksi digital dapat mengurangi risiko pencurian fisik, seperti perampokan atau kehilangan uang tunai. Namun, sistem cashless juga tidak bebas risiko. Serangan siber, peretasan data, atau kegagalan sistem dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar daripada kehilangan uang tunai.
Bayangkan skenario di mana terjadi pemadaman listrik atau gangguan jaringan internet. Dalam kondisi seperti ini, transaksi cashless akan lumpuh sepenuhnya. Sementara itu, uang tunai tetap dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ketergantungan total pada sistem digital dapat menjadi bumerang ketika infrastruktur tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, mempertahankan uang tunai sebagai alternatif dalam situasi darurat atau ketidakpastian adalah langkah bijaksana.
Privasi dan Kontrol Finansial
Sistem cashless juga menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan kontrol individu terhadap keuangan mereka. Setiap transaksi non-tunai meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak oleh pihak ketiga, seperti lembaga keuangan, pemerintah, atau bahkan perusahaan teknologi. Meskipun hal ini berguna untuk tujuan keamanan, seperti pencegahan pencucian uang atau pendeteksian aktivitas ilegal, privasi individu dalam hal pengelolaan keuangan juga perlu dilindungi.