Sistem Ekonomi Perkotaan vs. Perdesaan: Mengapa Perbedaan Ini Terus Terjadi?
Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, menyimpan berbagai keanekaragaman dalam struktur sosial, budaya, dan ekonomi. Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah antara ekonomi perkotaan dan perdesaan. Meski saling terkait, kedua sistem ini berkembang dengan pola yang sangat berbeda, di mana ekonomi perkotaan sering kali lebih maju dan dinamis, sedangkan ekonomi perdesaan cenderung lebih stagnan dan tertinggal. Mengapa perbedaan ini terus terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat lebih dalam pada faktor-faktor yang membentuk dinamika ekonomi di kedua wilayah ini, serta bagaimana teori sistem ekonomi dapat menjelaskan ketimpangan tersebut.
Ekonomi Perkotaan: Dinamika yang Terus Berkembang
Ekonomi perkotaan biasanya ditandai dengan diversifikasi yang tinggi, baik dari segi sektor industri, perdagangan, hingga layanan. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dengan berbagai perusahaan, institusi keuangan, dan sektor jasa yang berkembang pesat. Di kota-kota ini, sektor jasa dan industri berperan penting dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan menyumbang pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Menurut teori sistem ekonomi kapitalis yang diusulkan oleh Adam Smith, pasar bebas yang beroperasi di wilayah perkotaan menciptakan inovasi dan pertumbuhan yang lebih cepat karena adanya kompetisi yang ketat dan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas (Smith, 1776). Kota-kota besar sering kali memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan, infrastruktur, serta teknologi, yang pada akhirnya mendorong produktivitas dan efisiensi. Sektor swasta memainkan peran utama dalam menentukan arah perkembangan ekonomi perkotaan, dan regulasi pemerintah cenderung lebih berfokus pada menciptakan iklim bisnis yang kondusif.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan pesat ekonomi perkotaan juga menimbulkan masalah tersendiri. Kemacetan, polusi, dan ketimpangan pendapatan menjadi isu yang terus-menerus menghantui perkembangan kota-kota besar. Meskipun demikian, daya tarik ekonomi perkotaan terus menarik migrasi dari daerah perdesaan, yang kemudian memperkuat dominasi kota dalam hal kontribusi ekonomi.
Ekonomi Perdesaan: Ketergantungan pada Sektor Pertanian
Di sisi lain, ekonomi perdesaan di Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Meskipun sektor pertanian mempekerjakan lebih dari 40% angkatan kerja Indonesia, kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 12,8% pada tahun 2022 (BPS, 2023). Ini menandakan adanya ketimpangan besar antara tenaga kerja yang terlibat dan hasil ekonomi yang dihasilkan. Ketergantungan pada sektor primer, khususnya pertanian, membuat ekonomi perdesaan cenderung lebih rentan terhadap guncangan eksternal seperti perubahan iklim, fluktuasi harga komoditas, serta perubahan kebijakan pertanian global.
Menurut teori ekonomi pembangunan, seperti yang dikemukakan oleh Arthur Lewis dalam Dual Sector Model, negara-negara berkembang cenderung memiliki dua sektor ekonomi utama: sektor tradisional (perdesaan) dan sektor modern (perkotaan) (Lewis, 1954). Sektor tradisional, yang sebagian besar terfokus pada pertanian, cenderung memiliki produktivitas rendah karena kurangnya akses terhadap teknologi, modal, dan pendidikan. Sebaliknya, sektor modern, seperti industri dan jasa di perkotaan, memiliki tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi karena adanya investasi modal, infrastruktur, dan inovasi.
Lewis menjelaskan bahwa transisi tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern menjadi kunci dalam mendorong pembangunan ekonomi. Namun, di Indonesia, proses ini masih berlangsung sangat lambat. Keterbatasan infrastruktur, akses ke pasar, serta minimnya investasi di perdesaan menghambat transformasi ekonomi. Sehingga, ekonomi perdesaan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan.
Mengapa Perbedaan Ini Terus Terjadi?