Mohon tunggu...
Syaiful Prayogi
Syaiful Prayogi Mohon Tunggu... Apoteker - Apt

Mahasiswa Farmasi Univeritas Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hari Kesehatan Sedunia, Refleksi dan Peningkatan Kesehatan

2 Maret 2020   04:00 Diperbarui: 2 Maret 2020   04:12 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tanggal 7 April menjadi momentum/peringatan Hari Kesehatan Sedunia (HKS). Awal perayaan ini dimulai adanya Majelis Kesehatan Dunia yang diadakan oleh WHO pada tahun 1948. Pada majelis tersebut diputuskan peringatan hari kesehatan dunia sekaligus memperingati berdirinya WHO. Peringatan ini dimulai sejak 1950 yang didukung dengan kegiatan internasional, regional maupun lokal. Tahun 2019, peringatan HKS mengusung tema Universal Health Coverage: everyone, everywhere. Maksud dari tema ini yaitu bahwa semua orang memiliki akses, tanpa diskriminasi apapun ke layanan kesehatan berkualitas komprehensif, di mana pun mereka membutuhkannya, tanpa menghadapi kesulitan keuangan. Kesehatan universal bukan hanya tentang memastikan semua orang terlindungi, tetapi bahwa setiap orang memiliki akses ke pelayanan kesehatan ketika mereka membutuhkannya dan di mana pun mereka berada. Ya makna besar dan cita-cita perubahan besar terhadap pelayanan kesehatan terkandung tentunya. Sebenarnya banyak cara-cara merayakan jikalau hanya untuk sekedar memeriahkan momentum HKS ini, namun lebih dari itu perlu adanya upaya kongret untuk mewujudkan tema besar tersebut. Mari kita merefleksikan kondisi dan upaya kesehatan negeri ini di hari momentum HKS. Seperti telah kita ketahui akses pelayanan kesehatan menurut Riskesdas 2018, akses ke rumah sakit masih menjadi permasalahan dilihat dari jenis transportasi, waktu tempuh dan biaya yakni akses sulit dan sangat sulit berada pada angka 62,9%. Kemudian permasalahan penyakit tidak menular (kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi) mengalami kenaikan. Prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%; dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%. Penyakit menular  (TB Paru) tidak mengalami pergeseran, yakni sebesar 0,4% dan prevalensi pneumonia yang naik dari 1,6% menjadi 2%. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Walaupun terjadi penurunan namun nyatanya masih terjadi kasus yang memprihatinkan seperti KLB gizi buruk yang terjadi di Asmat, Papua (Februari 2018 lalu) dan jumlah penurunan tersebut masih jauh dari angka minimum stunting yang ditetapkan WHO, yakni 20%. Berdasarkan kejadian/fakta yang ada ini, membuktikan belum optimalnya usaha pemerintah pusat, daerah, dan warga Indonesia mengentaskan masalah kesehatan negeri ini. Sebenarnya usaha dan program yang dikerahkan dan dilaksanakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah kesehatan negeri ini. Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang merupakan program intervensi stunting gizi spesifik. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan, misalnya pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil. Tujuannya mengatasi kekurangan protein kronis, kekurangan zat besi dan asam folat, kekurangan iodium, dan menanggulangi cacingan pada ibu hamil serta melindungi dari malaria. Dalam rangka tersebut juga, pemerintah bersama DPR juga telah menyusun Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang air susu ibu eksklusif dan Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi tentunya upaya-upaya tersebut perlu kita apresiasi tentunya. Pembenahan KPM agar PKH Berjalan Sesuai Harapan Stunting menurut kementrian kesehatan adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Ada beberapa faktor yang memungkinkan seseorang kekurangan gizi hingga terjadi gizi buruk. Pertama kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makan makanan yang mengandung gizi seimbang maka peran pemerintah mempunyai peran sebagai tenaga promosi kesehatan untuk mengkampanyekan hal tersebut. Kedua kendala ekonomi, kondisi perekonomian warga/masyarakat yang sulit akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan khususnya dalam asupan makanan yang mengandung gizi seimbang yang dibutuhkan tubuhpun menjadi kurang bahkan tidak terpenuhi. Sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan kesejahteraan ekonomi melalui Program Keluarga Harapan (PKH). PKH sebagai penjelmaan pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan ekonomi pantasnya memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap peningkatan gizi dan menurunnya stunting di Indonesia. Karena harapannya dari PKH akan membantu pemenuhan keperluan produktif di antaranya Meningkatkan kesehatan Ibu dan Anak melalui pembelian pangan yang mendukung pada peningkatan Gizi. Nyatanya belum memberi dampak yang besar. Kiaranya perlu di kroscek ulang mengenai KPM apakah sudah sesuai kriteria. Upaya Komprehensif untuk Peningkatan Kesehatan Berbicara mengenai kesehatan, tidak lepas dari upaya pencapaian derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat. Adanya JKN, Jamkesmas, Jamkesda, KIS hingga BPJS adalah upaya pemerintah dalam pencanangan kesehatan menyeluruh guna terciptanya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Melalui program tersebut jika seseorang terkena penyakit dapat melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan yang ditunjuk sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Penyelenggaraan program tersebut digunakan sebagai upaya kuratif pada peningkatan kesehatan. Kurang tepat dan kurang komprehensif agaknya jika fokus peningkatan derajat kesehatan setinggi-tingginya hanya dilakukan di hilir yakni mengandalkan upaya kuratif (pengobatan) semata. Hal ini terbukti dengan defisitnya pembiayaan BPJS-KIS. Menurut hemat penulis tidak kalah pentingnya peningkatan derajat kesehatan di hulu (melalui upaya promotif dan preventif). Upaya promotif merupakan suatu kegiatan/serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. Upaya preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Jika upaya kuratif tenaga kesehatan lebih pasif terhdap masyarakat dalam artian masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan akan mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan kesakitannya atau mengatasi masalah kesehatannya, maka pada upaya promotif tenaga kesehatan/petugas terkait hal ini lebih pro aktif dalam melakukan upaya melalui promotif (peningkatan) dan preventif (pencegahan) kesehatan. Upaya promotif lebih digiatkan dalam upaya pembebasan masyarakat dari penyakit tidak menular (PTM) dan upaya preventif lebih digiatkan agar penyakit menular (PM) tidak menyebar luas. Tidak kalah penting peran aktif masyarakat dalam, melakukan pencegahan dan peningkatan kesehatan dengan berperilaku hidup bersih dan sehat dan mendorong individu untuk berperan membantu masyarakat dunia dalam mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya. Sehingga muncul masyarakat yang sehat dan menyehatkan masyarakat. 

(Syaiful Prayogi adalah mantan Ketua HMJ Farmasi 2017-2018 Universitas Peradaban (UP) Bumiayu, Kabupaten Brebes)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun