Oleh: Syaifudin
Proses pembagian hewan kurban setiap tahunnya selalu ada catatan hitam. Tragedi-tragedi kemanusiaan terus terulang di momentum yang suci ini. Di mana masyarakat beramai-ramai membentuk barisan sporadis mengelilingi pusat sasaran pemotongan hewan kurban. Bahkan, mereka rela berdesak-desakan demi sekantong daging kurban. Tak menjadi persoalan bagi mereka jika harus melakukan adegan sumo, yang terpentingmendapatkan barisan terdepan dengan pengharapan mereka mendapatkan target tujuannya. Akhirnya kericuhan saat pembagian daging kurban pun tak terelakan.
Pemaknaan budaya mengantri, dan jiwa kemanusiaan pun turut larut dalam budaya rimbah yang diusung oleh Darwin dengan survival of the fittest.Sebagaimana yang diberitakan di televisi, bahwa terjadi kembali tahun ini kericuhan pada saat pembagian hewan kurban. Kita tentu belum lupa atas tragedi keberingasan massa saat pembagian kurban tahun lalu dilapangan Bhayangkara seberang Mabes Polri, apakah tidak cukup menjadi hikmah atas pelaksanaan kurban tahun ini.
Kepedulian sosial pun tergantikan dengan bahasa keegoisan sosial. Memang jika dilihat secara sruktural, fenomena ini wajar terjadi dan lumrah dilakukan oleh manusia. Sebab dalam proses pembagian hewan kurban terjadi peluang persaingan yang terbuka. Hal ini di karenakan jumlah daging yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang mengantri. Sehingga mau tidak mau mereka harus memakai pikiran survival of the fittest ini dengan keegoisan sosialnya. Tetapi itu bukanlah menjadi konsekuensi logis yang harus dijadikan alasan klasik. Lebih daripada itu, bagaimana kita dapat memanusiawikan budaya kurban lebih manusiawi lagi.
Oleh karena itu, belajar dari pengalaman. Semestinya pemerintah maupun panitia pelaksana kurban dapat menerapkan pola manajemen yang berbasis kepada makna dari kurban itu sendiri. Baik dari pendataan para penerima daging kurban, pembagian kupon, dan lokasi pembagian.
Terjadinya kericuhan saat pembagian daging kurban, seharusnya menjadi refleksi kita bersama akan sebuah eksistensi manusia yang beradab. Sebab esensi dari kurban itu sendiri merupakan sebuah kasih sayang, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal dan keikhlasan mengurbankan nafsu duniawi. Secara historis, makna dari kurban itu sendiri sudah diriwayatkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail, sampai nabi Muhammad SAW. Yang intinya mengajarkan kita kepada sebuah kearifan sebagai makhluk yang beriman dan berakal.
Kurban bukanlah moment persaingan untuk merebutkan daging kurban semata. Lebih daripada itu, kurban adalah moment kesahajaan dan kebersamaan yang di lembagakan dalam sistem sosial hidup bermasyarakat.
*Tulisan sederhana dari refleksi melihat antrian kurban tahun ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H