Oleh: Syaifudin
Pembahasan mengenai globalisasi merupakan sesuatu yang “seksi”. Sebab pembahasan mengenai hal tersebut penuh dengan dialektika erotis pada konteks kekinian. Oleh karena itu menarik jika kita sedikit “genit” untuk mencari tahu sejarah perkembangan globalisasi dan implikasinya bagi sistem kehidupan sosial. Untuk itu dalam tulisan ini penulis mencoba merajut literatur dari beberapa buku yang terkait. Dalam hal ini penulis bersumber dari tiga buku, yaitu: (1) “ Colonization To Globalization: ‘Might Is Right’ Continues ” yang ditulis oleh Zeenath Kausar; (2) “ The Globalization of Poverty “ yang ditulis oleh Michel Chossudovsky; dan (3) “ Global Dimensions: Space, Place and The Contemporary World “ yang ditulis oleh John Renni Short.
Globalisasi sendiri merupakan suatu sistem saling ketergantungan antar negara di seluruh dunia yang saling menguntungkan, baik dalam hal sospol maupun pembangunan ekonomi yang didasari oleh aturan hukum. Sedangkan menurut IMF, globalisasi merupakan pertumbuhan saling ketergantungan ekonomi antar negara di seluruh dunia melalui peningkatan volume dan berbagai transaksi barang dan jasa melalui lintas perbatasan dan arus modal internasional, dan juga melalui penyebaran difusi teknologi yang cepat dan luas.
Perkembangan globalisasi di dunia tidak lepas dari pengaruh negara Barat. Dimana secara tradisional perkembangan globalisasi dapat ditelusuri melalui jejak-jejak pada jaman kolonisasi di negara Barat. Sedangkan secara eksternal kolonisasi negara Barat tidak dapat diacuhkan, walau pada awalnya melalui kegiatan perdagangan yang masuk ke wilayah Timur dengan misi kebudayaan dan kemanusiaan. Hingga akhirnya misi ini menciptakan kolonisasi intelektual, pembentukan sistem negara-bangsa, dan kontrol Eropa-Amerika dalam ekonomi dan teknologi informasi.
Sementara secara modern, globalisasi dapat dilihat berikutnya pada sistem sebuah negara. Konsekuensi yang umum terjadi dari perkembangan globalisasi membuat beberapa kalangan cendikiawan muslim pada akhirnya mulai menerima beberapa ideologi barat, meliputi sekulerisme dan nasionalisme yang terjadi pada saat kaum muslim juga sedang mengalami kolonisasi. Contoh terbaik untuk menggambarkan ilustrasi ini adalah negara Arab dan Turki. Pada akhirnya banyak negara-negara yang harus beradapatasi dengan sistem-sistem Barat tersebut.
Kolonisasi barat pun telah memasuki fase yang amat vital yaitu kontrol ekonomi dan teknologi informasi (IT). Badan organisasi ataupun agensi seperti GATT, IMF, dan lain sebagainya sebenarnya merupakan sarana yang secara ‘gamblang’ bagi barat untuk lebih mendominasi dunia. Melalui institusi finansial, mereka berharap negara-negara non-barat akan memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap barat, yang pada akhirnya maksud dan tujuan ‘globalisasi’ mereka dapat terlaksana. Maka dari itu, proses kolonisasi sebenarnya masih terus berlanjut hingga pada saat ini, namun dengan kemasan yang lebih apik dan telah berhasil memberikan khayalan-khayalan pada negara-negara yang telah terjerat oleh pihak barat.
Sistem kolonial terus tumbuh dan berkembang hingga pengeksploitasian dari bagian besar kemanusiaan oleh kekuatan kolonial Imperialis Barat sulit untuk dideteksi dan dihentikan. Kausar menyatakan bahwa sistem kolonial sulit untuk dipertahankan jika para aliansi tidak memberikan kesempatan untuk kaum imperialis hingga ke berbagai lapisan masyarakat di dalam koloni. Oleh karena itu strategi populer dari kekuatan kolonial adalah beraliansi dengan beberapa elite dan tokoh kaum pribumi untuk membangun kekuasaannya pada negara jajahannya dengan kepentingan ekonomi dan politik pribadi. Woodis menegaskan strategi penting yang di adaptasi oleh kaum kolonialis adalah ‘divide et impera’ yang sangat membantu kaum kolonialis membangun dan melanjutkan penjajahan. Ia menegaskan bahwa ‘divide et impera’, adu domba seputar kebangsaan, suku, agama antara satu dengan yang lain menjadi hal yang paling essensi dari kolonialisme.
Sangat jelas sistem kolonial memiliki implikasi yang sangat buruk bagi tata kehidupan manusia. Pemanipulasian dan pengeksploitasian oleh penjajah kepada terjajah menyebabkan Negara terjajah semakin ‘tergerogoti’ baik SDA maupun SDM- nya, yang pada akhirnya menguntungkan bagi kaum penjajah dan yang terjajah semakin termarjinalisasikan dan tertindas. Dengan demikian sangat jelas bahwa kolonialisme mempunyai misi dan kepentingan pribadi bukan ‘memberdayakan yang tidak berdaya’, tetapi Imperialisme untuk mengkontrol sebagian besar dunia. Pada kenyataannya, kekuatan kolonial tidak akan pernah memberikan kebebasan kepada koloninya karena kebebasan dan otonomi untuk koloni berarti berakhirnya kerajaan Imperialisme mereka.
Sementara menurut John Renni Short perkembangan globalisasi di dunia dapat dilihat melalui tiga fase sepanjang sejarah (Round of Globalization). Pertama, pada tahun 1492 sampai 1865. Fase pertama dari globalisasi digerakan oleh kebutuhan dan perputaran ekonomi. Globalisasi ekonomi pada tahap ini adalah sebuah proses dimana hasil produksi lokal memasuki ruang lingkup perekonomian global yang menjadi terglobalisasi akibat pasar-pasar yang saling terhubung satu sama lain. Cara-cara dan praktek perekonomian lokal tertransformasikan karena adanya hubungan dengan sistem perdagangan dunia. Geopolitik global didominasi oleh nasionalisme ekonomi yang memiliki kepercayaan bahwa kepentingan negara meningkatkan pertumbuhan perekonomian, dan cara untuk melakukan hal tersebut melalui promosi perdagangan ke luar negeri. Akibatnya negara menjadi terinternasionalisasi dengan misi utamanya untuk meningkatkan perdagangan luar negeri, menguasai sumber daya dan mendorong kolonisasi.
Selain itu negara diarahkan untuk melakukan ekspansi dan tindakan internasional, sehingga batas antara peran sebagai aktor global atau aktor nasional tidak lagi jelas. Dalam konteks ini disaat kepentingan global terhubung dengan reposisi global, dengan demikian negara menjadi aktor internasional. Fase pertama dari perkembangan globalisasi secara budaya pada akhirnya menciptakan asimilasi budaya diantara budaya pendatang dengan budaya lokal. Dalam hal ini pengaruh negara-negara di belahan benua eropa sangat dominan terhadap negara-negara timur.
Kedua,pada tahun 1865 sampai dengan tahun 1989. Fase kedua ini ditandai dengan makin menguatnya globalisasi ekonomi dan terjadinya internasionalisasi politik yang semakin berkembang dan globalisasi budaya yang makin meluas. Menguatnya pertumbuhan ekonomi pada masa ini dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pada sistem transportasi yang mempengaruhi interaksi secara ruang dan waktu, contohnya penemuan kereta api. Akibat perkembangan pada bidang transportasi tersebut, jarak dan waktu menjadi semakin dekat sehingga interaksi diantara negara-negara menjadi semakin mudah. Di fase kedua ini kemudian paham imperialisme pun turut berkembang. Imperialisme berkembang di benua Eropa dan Amerika sebagai negara koloni. Akibat dari paham imperialisme ini pula globalisasi dalam sektor budaya berkembang pada fase kedua ini.