Ada Oknum "Nakal" di BPN Jakarta Barat: Perlunya Realisasi Revolusi Mental Untuk Terwujudnya Clean and Good Governance di Birokrasi Pelayanan Publik
Oleh: Syaifudin
Berdasarkan Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan disebutkan jangka waktu pembuatan untuk proses pemecahan sertifikat tanah mencapai 15 hari. Namun rupanya isi peraturan tersebut tidaklah sesuai dengan praktek dilapangannya. Dimana saudara saya menjadi salah satu korban dari inkonsistensi pelaksanaan peraturan tersebut (mungkin banyak juga masyarakat yang nasibnya sama seperti ini). Adapun masalah yang saudara saya hadapi adalah susahnya dan lamanya mengurus pemecahan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat. Dimana saudara saya sudah mengurus sertifikat itu terhitung dari bulan Mei 2014. Namun hingga bulan Oktober 2014 ini, sertifikat pecah tanah itu belum juga selesai. Dengan kata lain sudah hampir 6 bulan lamanya, namun belum juga selesai pembuatan sertifikat pemecahan tanah tersebut. Jelas ini tidak sesuai dengan ketentuan waktu yang sudah ditentukan dalam peraturan yang ada. Adapun saudara saya ini berurusan dengan oknum BPN Jakarta Barat yang berinisial Bapak Ch, dan Bapak Em.
Tidak hanya itu saja, uang pun sudah banyak ia keluarkan untuk mengurus pemecahan sertifikat tersebut, yakni mencapai Rp. 7. 000.000. Pengeluaran uang tersebut sesuai petunjuk dan instruksi dari oknum BPN Jakarta Barat, dan karena saudara saya tidak tahu peraturan resminya, ia pun mengikuti petunjuk dan instruksi tersebut dengan mengeluarkan sejumlah uang. Padahal kalau saya hitung berdasarkan rumus dan ketentuan di “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional”, harusnya saudara saya keluar biaya mengurus pemecahan sertifikat tanah sebesar Rp. 1.331.640,- dan itu juga sudah sesuai dengan nominal yang tertera dalam kwitansi resmi yang diberikan oleh BPN Jakarta Barat kepada saudara saya itu. Dimana jumlah tersebut terdiri dari rincian ;(a) Pelayanan pendaftaran pemecahan sertifikat (5 x Rp. 50.000 = Rp. 250.000); (2) Pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah (5 x Rp. 141.328 = Rp. 706.640); dan (c) Biaya pemetaan tematik bidang tanah (5 x Rp. 75.000 = Rp. 375.000).
Namun besaran jumlah resmi yang sudah dibayarkan, tidak menjamin sertifikat selesai sesuai ketentuan waktu resminya. Justru oknum BPN Jakarta Barat tersebut meminta sejumlah uang secara “tidak resmi” kepada saudara saya itu, misalnya saja pada saat pengukuran dan pemetaan tanah yang harusnya saudara saya sudah tidak membayar lagi, tetapi oknum BPN Jakarta Barat meminta uang sebesar Rp. 2. 500.000. Jika tidak dibayar maka tidak akan dilakukan pengukuran dan pemetaan tanah. Akhirnya saudara saya pun membayar sejumlah uang tersebut. Tidak hanya itu saja, setiap proses lainnya pun oknum tersebut selalu meminta sejumlah uang yang besarannya ratusan ribu rupiah, bahkan hingga saat ini. Alhasil selama proses pengurusan pemecahan sertifikat tanah, yang seharusnya saudara saya hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp. 1.331.640, tetapi justru melebihi nominal biaya resmi tersebut, yakni mencapai Rp. 7. 000.000. Dan anehnya setiap saudara saya meminta tanda tangan di kwitansi yang ia bawah, para oknum di BPN Jakarta Barat ini tidak mau memberikan tanda tangan di kwitansi itu. Malah justru saudara saya mendapatkan ancaman dengan tidak akan diurusnya dan dipersulit proses pemecahan sertifikat tanahnya. Jelas dengan selisih nominal biaya ini, terdapat indikasi “pungutan liar” yang dilakukan oleh oknum BPN Jakarta Barat. Selain itu setiap saudara saya ke BPN Jakarta Barat, justru yang terjadi ia sering di “pimpong” sana – sini.
Ironisnya, saat saya menemani saudara saya ke BPN Jakarta Barat, saya menemukan beberapa orang yang dengan mudahnya mengurus pembuatan sertifikat tanah (baik itu pembuatan baru maupun pemecahan sertifikat tanah) dengan hitungan 2 minggu sampai 1 bulan selesai. Setelah saya tanya ke beberapa pihak yang bersangkutan, rupanya kondisi kemudahan itu ia terima karena ia bermain “dibawah tangan” (baca: suap) dengan oknum BPN Jakarta Barat. Rupanya praktek “dibawah tangan” ini sudah menjadi rahasia umum menurut mereka. Jadi menurut mereka untuk dapat dipercepat dan dipermudah dalam segala pembuatan sertifikat tanah harus ada sejumlah “biaya tidak resmi” yang harus diberikan kepada oknum – oknum di BPN Jakarta Barat. Bahkan sejak dua bulan terakhir, saudara saya sudah tidak lagi mengikuti permintaan oknum BPN Jakarta Barat tersebut untuk memberikan sejumlah uang, yang konon katanya sebagai biaya administrasi dan kebutuhan. Alhasil, proses pembuatan pemecahan sertifikat tanah pun hingga saat ini belum juga selesai. Oleh karena itulah tulisan ini saya buat sebagai bentuk rasa kekecewaan saya terhadap pelaksanaan lembaga pemerintah yang menaungi pelayanan publik.
Melalui tulisan ini saya berharap masalah inkonsistensi pelaksanaan peraturan dan praktek ilegal ini dapat segera diselesaikan dan dibenahi. Tidak hanya dalam sektor pembuatan atau pemecahan sertifikat tanah saja di BPN, tetapi juga dalam hal pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Tata Kota juga turut dibenahi. Karena kondisi di BPN saat ini, sama halnya dengan apa yang pernah dialami oleh saudara saya saat ia mengurus IMB di Tata Kota. Selain itu juga saya berharap sekiranya Ombudsman, BPK atau KPK atau pihak terkait dapat melakukan tindakan atau pengusutan terhadap segala praktek ilegal ini. Jangan sampai lembaga pemerintah yang mengurusi permasalahan tanah (maupun lembaga pemerintah yang mengurusi perizinan mendirikan bangunan) ini, dikotori citra dan kinerja baiknya oleh beberapa atau sekelompok oknum yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil BPN (Jakarta Barat).
Dengan kepemimpinan Presiden Jokowi, semoga jargon “Revolusi Mental” dapat kiranya dipraktekan secara nyata untuk menyapu segala kotoran mentalitas korupsi, kolusi, nepotisme, dan yang menyusahkan masyarakat untuk mengakses layanan publik dalam lingkaran para oknum – oknum birokrasi di sektor pelayanan publik. Sehingga masyarakat benar – benar dapat menikmati layanan publik (sebagaimana yang termaktub dalam UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) dengan penuh kemudahan, dan tidak dicurangi bahkan diperas oleh oknum – oknum birokrasi di sektor pelayanan publik ini. Jangan sampai di level pimpinan (Presiden Jokowi, Gubernur Plt DKI Jakarta Ahok, maupun Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan) sudah bekerja dengan sangat baik, tetapi malah ternodai dengan kinerja buruk para oknum bawaannya. Semoga dengan jargon “Revolusi Mental” dapat terwujud clean and good governance di segala sektor birokrasi pelayanan publik ke depannya. Rakyat berharap realisasi janji mu Pak Presiden Jokowi. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H