StartUp menjadi kosakata yang belakangan begitu familiar disebut di media. Istilah StartUp berawal dan berkembang di ranah teknologi informasi untuk menyebut perusahaan rintisan (baru). Sebut saja Apple, Microsoft, atau Facebook, tiga dari ribuan perusahaan IT terkemuka di dunia itu awalnya adalah StartUp di bidang IT. Mereka memulai bisnis dari skala garasi, rumahan, bahkan kampus. Dengan segala inovasinya, kini mereka meraksasa tak hanya di negeri tempatnya bermula, namun melintas batas dunia.
Istilah StartUp kini juga menyentuh dunia bisnis secara umum. Istilah perusahaan rintisan digunakan bagi usaha kecil menengah yang baru mengawali usahanya. Uniknya, meski bukan bergerak di bidang IT, namun para pelaku bisnis ini (juga) menggunakan teknologi informasi sebagai salah satu alat penggerak bisnisnya. Rupanya era teknologi informasi tak disia-siakan para StartUpper untuk memaksimalkan IT ke dalam bisnisnya yang baru dibangun. Tujuannya tak lain untuk memasarkan bisnis baru mereka ke pasar yang lebih luas, mempromosikan usaha mereka lebih massif dan tentunya efisiensi, memangkas banyak biaya.
Lihat saja yang dilakukan 3 pengusaha berikut dengan bisnis yang mereka mulai dari bawah dan skala kecil di awalnya. Pertama, keripik pedas yang dikelola oleh anak muda bernama Reza Nurhilman. Pemuda asal Bandung berusia 25 tahun ini menjadi buah bibir perbincangan banyak orang berkat aksi ‘nekadnya’ berjualan cemilan kripik pedas dengan merk dagang Maicih.
Awalnya banyak yang melecehkan karena ia menjual produk ‘biasa’, tradisional dan sudah ada di pasaran. Suka tak suka keripik singkong adalah produk tradisional yang pasarnya cenderung ‘sempit’, karena di pasaran cemilan harus bertarung dengan serbuan penganan kecil dari manca negara sejenis seperti keripik kentang (potato chips) yang memiliki kemasan dan tampilan jauh lebih menarik.
Namun ia ngotot dan menciptakan cara berjualan serta produk tak biasa. Keripiknya tak dibuat biasa, ia buat pilihan rasa dengan tingkatan pedas yang berbeda. Ia gunakan twitter sebagai alat jualannya. Ia sangat percaya dengan kekuatan social media. Produknya ia pasarkan mobile, secara berpindah-pindah. Informasi lokasi dan tenaga penjualnya dimention melalui twitter.
Apakah selesai dengan proses jual beli keripik? Tidak. Karena para pembeli kemudian menjadi buzzer secara tak langsung dengan membuat testimoni melalui twitter. Mereka yang mengikuti (mem-foloow) akun Maicih akan dibuat penasaran untuk merasakan level kepedasan keripik tersebut.
Demam keripik pedas kemudian terjadi. Reza yang menggabungkan kegiatan offline dengan online secara sinergis terbukti berhasil. Dan kini, konon Maicih beromset 4 Milyar rupiah per bulan! Sebuah pencapaian yang tak biasa. Itu bisa dicapai berkat melek digital, mengoptimalkan jejaring sosial twitter kedalam bisnis keripiknya. Secara umum, Reza memang jeli melihat peluang, paham ceruk pasar, dan bisa mengendus pasar yang sedang berubah.
***
Kisah kedua datang dari presenter Lucy Wiryono dengan kedai steak Hollycowsteak-nya. Sebagai pengguna twitter, Lucy dikenal sangat aktif. Dan saat memutuskan berbisnis kedai steak bersama suami dan partnernya, ia memanfaatkan kegemarannya ngetweet untuk memajukan bisnisnya. Lucy tak hanya sibuk berpromosi di twitter tentang lahan bisnisnya. Tapi ia juga mengedukasi mengenai apa itu steak, mengapa ia menjual steak wagyu yang dikenal sebagai varian steak mahal di warungnya.
Aktivitas online Lucy tak hanya berhenti di ngetweet saja, ia kerap berkolaborasi dengan sejumlah penggiat media sosial. Misalnya ia mensupport kegiatan Indonesia Berkebun dan memanfaatkan hasil panen bayam komunitas ini di kedainya. Sederhana dan juga mengena.
Kali lain, Lucy pun secara aktif melakukan promosi usahanya dengan menggaet produk-produk UKM baru. Misalnya dengan menggratiskan produk tertentu jika pengunjung kedainya bisa menunjukkan tweet keberadaannya di salah satu gerainya. Ia juga memberikan gratis steak wagyu bagi mereka yang kebetulan berulang tahun di gerainya.