Belakangan ini hati saya gundah. Bukan karena harga sembako yang makin tak akrab dengan kantong. Bukan pula karena harga BBM yang tak pernah stabil sekian bulan terakhir. Soal harga, tarif atau apapun itu masih bisa dikompromikan. Sedikit kencangkan ikat pinggang, mengurangi kenikmatan duniawi, menyesuaikan kondisi atau apapun yang penting masih bisa hidup.
Tapi yang membuat hati gundah bukan soal itu. Bahkan lebih dari itu. Karena ini menyangkut sebuah masa depan bagi anak saya, dan mungkin anak anda juga.
Kegundahan saya berawal dari banyaknya berita negatif memborbardir ruang dengar, ruang baca dan ruang lihat kita semua. Mulai dari pesta bikini selepas ujian SMA, prostitusi Abege, pelacuran di kos-kosan atau apartemen, prostitusi online, prostitusi di kalangan artis hingga rencana sertifikasi bagi WTS yang digagas seorang kepala daerah.
Hanya ada satu kata: duh!
Bingung rasanya menjawab pertanyaan anak-anak mengenai apa itu prostitusi, mengapa harus ada pesta bikini, dan mengapa WTS mesti disertifikasi?
Apa benar di negeri ini hanya ada hal-hal berbau lher dan serr (meminjam istilah untuk hal berbau birahi versi tokoh pers Arswendo Atmowiloto) saja?
Di mana tempat kami sebagai orang tua dalam membesarkan anak-anak kami? Apakah anak-anak kami yang kecil-kecil harus juga tahu dan memahami dunia orang dewasa yang begitu rumit dengan perbendaharaan istilah yang makin hari makin ajaib itu?
Apakah kami tidak boleh melihat dan membaca media massa kita sendiri? Padahal seyogyanya media massa itu memberikan pencerahan bagi pembacanya? Lalu bagaimana anak-anak kita mau membaca atau mengkonsumsi media sendiri jika tiap hari dari pagi sampai malam suguhan media kita tak jauh-jauh dari persoalan syahwat. Entah itu syahwat abege di mal, pelacuran di tempat kos, esek-esek di apartemen hingga mucikari artis papan atas.
Sebagai orang dewasa kita mungkin sudah pada paham dan mengerti, ada dunia 'semacam itu' di luar 'sana'. Tapi apakah bijak menyajikan semua hal busuk itu bagi konsumsi anak-anak kita?
Saya juga tak bisa menyalahkan media yang memblow up persoalan syahwat ini menjadi isu nasional, karena begitulah sifat media, akan memberitakan sesuatu yang tak biasa. Apalagi persoalan syahwat (sex) memenuhi salah unsur 'new value' sebuah berita.
Para punggawa program infotainment maupun redaksi berita tv beranggapan ini kasus 'sexy' untuk jadi santapan rating tv. Kapan lagi dapat rating bagus dengan mendompleng 'isu nasional' semacam ini, meski ini isu murahan.