RCTI sembunyikan Berita Korupsi SDA? (captured from FB by Syaifuddin)
Apa sebenarnya independensi media itu? Seorang kawan jurnalis sebuah stasiun televisi bertanya pada saya. Pertanyaan yang gampang-gampang susah jawabannya.
Sejatinya independen berarti tidak memihak. Berada pada posisi di tengah semua kepentingan, entah itu politik, ekonomi atau apapun namanya itu.
Dengan kondisi sosial politik Indonesia seperti sekarang ini apakah masih ada media yang independen? Salahkah mempertanyakan independensi media di tengah situasi yang semuanya penuh kubu menjelang Pilpres? Salahkah media yang tidak independen?
Bagi kalangan yang idealis, independensi dipandang sebagai cita-cita besar yang mesti diperjuangkan.
Sebaliknya bagi kalangan pragmatis, independensi adalah kompromi. Ke mana angin bertiup di situlah independensi disandarkan, dipertaruhkan. Ujung-ujungnya demi kepentingan sesaat.
Terus terang persoalan independensi media ini menjadi kerisauan banyak jurnalis. Utamanya bagi mereka yang bekerja dalam institusi media milik pengusaha besar atau konglomerat media. Independensi media adalah utopia, sebuah mimpi yang terpaksa dipajang di atap gedung.
Bersikap independen di tengah institusi yang tidak independen memang bak menggarami lautan. Bagi beberapa kawan tidak mudah untuk bersikap. In atau out adalah pilihan.
Belakangan ini saya melihat soal independensi media makin memprihatinkan. Ada media yang sengaja secara mencolok jauh-jauh hari menjadi bumper promosi pasangan capres-cawapres. Ada juga yang menyokong bosnya untuk jadi capres paling layak yang berarti menafikan semua pemberitaan capres pesaing.
Itu sah-sah saja menurut bahasa redaksi media bersangkutan. Padahal publik jauh lebih berhak akan informasi berimbang, karena televisi kita menggunakan frekuensi publik. Sejatinya frekuensi publik dipergunakan untuk melayani kepentingan publik yang beragam, yang berasal dari beragam latar belakang. Bukan menutup celah bagi pihak lain namun memberi ruang lebar bagi pihak seberang.