Bagi laki-laki punya perut buncit kerap dianggap sebagai pertanda kemakmuran. Penganut paham ini meyakini  mereka yang punya perut  buncit biasanya ada di usia matang 40 tahunan ke atas. Dan usia tersebut biasanya sudah berada di fase hidup yang mapan, dengan karier mentereng dan harta berlimpah.   Â
Pandangan ini memang kontroversial, setidaknya bagi mereka pecinta hidup sehat. Mereka sama sekali tidak setuju dengan sesat pikir yang konon ditiupkan kalangan Generasi Baby Boomer tersebut.
Generasi sekarang yang punya kesadaran lebih pada kesehatan justru anti kemapanan ala generasi 70-an. Karena mereka sangat peduli pada perawatan diri yang menjadi bagian gaya hidupnya. Mereka lebih aktif bergerak dan punya kesadaran tinggi pada olahraga maupun makanan sehat. Â Â
Kembali ke soal perut buncit, bagaimana sebenarnya cara menyusutkan perut buncit?Â
Saya termasuk yang memiliki problem dengan perut buncit saya. Meski dibandingkan teman lain kadar kebuncitan perut saya tergolong masih wajar, tapi bagi saya tetap buncit. Dengan tinggi 167 cm dan berat badan (dulu) sekitar 83 kg, penampilan fisik saya tergolong tidak ideal. Lemak di perut membentuk gundukan kecil yang tidak sedap di pandang mata.Â
Kondisi ini bukan hanya tak sedap dipandang, namun juga kerap jadi bahan olok-olok. Meski saya tak pernah mempersoalkan hal itu dan tak sekalipun jadi marah, suka tak suka itu kemudian membuat jadi masalah juga.
Saya jadi merasa tak cukup percaya diri (pede) terutama saat membeli pakaian. Pakaian saya umumnya berukuran satu nomor di atas ukuran normal saya.
Berbagai cara saya lakukan untuk menurunkan berat badan, mulai dari ke gym dan melakukan olahraga ringan. Saya juga mencoba aneka diet, namun tak satupun memuaskan saya.
Pemahaman saya waktu itu hanya untuk menurunkan berat badan. Padahal bukan itu sebenarnya masalah saya.
Sampai akhirnya tahun lalu saya divonis mengidap sejumlah penyakit dalam waktu bersamaan: stroke ringan, diabetes dan juga batu ginjal.Â
Vonis dokter itu kemudian menyadarkan saya. Cara diet saya ternyata salah. Pola makan pun dianggap masih pro rezim lama, di mana asupan karbohidrat masih mendominasi setiap harinya.
Dokter menyarankan saya mengubah pola makan dan pola hidup yang jarang bergerak. Perlahan pola makan saya perbaiki. Awalnya saya kurangi asupan karbohidrat dari sekian centong nasi menjadi hanya tiga sendok makan saja. Dalam sehari kuantitas makan tetap sama, 3 kali sehari. Â
Namun ternyata cara ini kurang pas dan saya kemudian merevisinya dengan memperbanyak asupan protein. Pagi saya konsumsi telur beberapa butir. Â Biasanya ditambah sayuran. Setelah itu snacking dengan konsumsi buah-buahan.Â
Dan makan normal hanya ada di siang hari, namun takaran nasinya paling banyak hanya 3 sendok makan. Sore hari diisi dengan snack buah-buahan lagi. Dan makan malam maksimal jam 19.00. Dan mulai jam 20.00 stop makan apapun hingga 10 jam berikutnya.Â
Oiya, selain mengubah pola makan saya juga mengurangi konsumsi gula. Kegiatan ngeteh manis tiap pagi yang rutin saya lakukan puluhan tahun saya stop. Saya ganti teh pahit atau air putih hangat. Mengapa ini saya lakukan dan tidak mencoba menggantinya dengan gula pengganti? Saya kurang suka dengan rasa dari gula pengganti. Â Â
Selain memperbaiki soal makan, saya juga kini lebih banyak bergerak. Berhubung semula saya jarang bergerak jika berada di rumah, pelan-pelan kebiasaan ini saya ubah.
Biasanya di pagi hari saya sempatkan untuk melakukan aktivitas ringan apapun agar tubuh saya bergerak dan berkeringat. Jalan agi jadi pilihan olahraga yang saya lakukan karena cenderung aman bagi saya.Â
Setelah melakukan perubahan pola makan dengan mengurangi asupan karbohidrat dan gula serta lebih banyak bergerak, alhamdulillah saya merasa tubuh lebih segar. Meski hasil penurunan berat badan belum cukup signifikan, tapi setidaknya saya sudah bisa mengubah kebiasaan saya yang banyak mengkonsumsi karbohidrat saat makan menjadi lebih banyak mengkonsumsi protein.
Dan perut buncit yang biasanya menemani penampilan saya, kini perlahan menyusut. Hingga kini saya masih berproses, upaya mendapatkan tubuh yang sehat masih terus berlangsung.      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H