[caption id="attachment_36374" align="alignright" width="225" caption="Buku Long Distance Love"][/caption]
Menikah atau punya pasangan tapi berjauhan? Hmm…saya kok ngeri membayangkannya. Saya, istri dan ketiga buah hati kami punya derajat ketergantungan yang cukup besar satu sama lain, sehingga mendengar cerita perpisahan bak mengalami mimpi buruk.
Meski tak mengalami langsung, hubungan jarak jauh sebenarnya tak jauh-jauh amat dari kehidupan saya. Setidaknya itu dialami langsung adik saya sendiri. Ia baru beberapa bulan ini lepas sebagai penganut hubungan jarak jauh alias Long Distance Love dengan sang suami. Selama setahun ia bersama 2 anaknya terpaksa berjauhan dengan suami yang menimba ringgit di Penang, Malaysia.
Saya melihat sendiri bagaimana sulitnya adik saya menjalani hari-harinya jauh dari suami. Apalagi ia juga bekerja, alhasil untuk urusan rumah sehari-hari ia tak mampu menghandle-nya seorang diri, hingga terpaksa hijrah ke rumah ortu.
Meski cuma setahunan ia menjalani hubungan jarak jauh, namun kelihatan betapa tidak menyenangkannya terpisah negara. Entah sudah berapa rupiah mereka harus keluarkan untuk merajut rindu. Saling berkunjung, membengkaknya biaya telepon, sms, hingga chatting lewat internet adalah harga yang harus dibayar. Cukup mahal, secara materi maupun psikologis.
Cerita semacam itu akan banyak kita temukan dalam buku Long Distance Love terbitan Lingkar Pena Publishing House. Buku keroyokan 25 blogger Multiply Indonesia ini menghadirkan realita cerita dari para pelaku hubungan jarak jauh. Ada yang langsung dituturkan oleh pelakunya, ada pula yang kisah orang lain yang diceritakan kembali. Ada cerita sedih, nelangsa, lucu hingga yang menguras air mata.
Sejak awal pembaca diajak menaiki roller coaster emosi para tokohnya. Seperti misalnya dialami Imazahra, penulis utama buku ini. Sebagian besar usia perkawinannya hingga kini dijalani ber-LDL dengan sang suami. Ia pernah berjauhan saat mendapat beasiswa studi master di Inggris setelah menikah. Kelar menyelesaikan studi, giliran ia yang ditinggalkan sang suami belajar di negeri Belanda.Sebuah kenyataan pelik dihadapi Ima, dan kalau tak bisa memenej diri, kedua belah pihak akan banyak dirundung persoalan.
Atau kisah TKI yang harus menerima kenyataan diduakan oleh sang suami begitu pulang di tanah air. Perjuangannya mencari uang di luar negeri seolah tak dihargai oleh sang suami. Bahkan ironisnya sang suami memilih menikah kembali hanya dengan dalih k-e-s-e-p-i-a-n.
Ada lagi kisah Titin dan Yudi. Dua sejoli ini berkenalan jarak jauh. Si pria studi di Inggris, sementara wanita di Jepang. Meski akhirnya menikah, toh keduanya hingga detik ini masih menjalani hubungan jarak jauh. Untungnya ada teknologi internet, komunikasi bisa lebih murah dan mudah, meski secara emosi sangat jauh berbeda dengan komunikasi tatap muka.
Dari contoh-contoh itu, terlihat begitu beratnya situasi batin yang dialami para penganut LDL. Ia tidak hanya harus berjuang seorang diri menjadi istri sekaligus 'orang tua' tunggal untuk sementara waktu bagi anak-anaknya. Belum lagi menghadapi pertanyaan-pertanyaan nakal atau keheranan mengenai statusnya yang menikah tapi kok berpisah dengan pujaan hati.
Buku ini memang sangat perempuan. Tulisannya didominasi wanita. Dari sederet penulis, hanya ada 4 pria. Terbayang seperti apa warna buku ini. Yang menarik sebenarnya adalah menelisik bagaimana kaum pria memandang LDL. Ada yang hancur-hancuran hanya karena ditinggal berjauhan dengan anak, hingga ada yang kerap disindir lantaran mengijinkan sang istri berjauhan menempuh pendidikan di luar negeri.
Tapi ada yang menarik yang ditulis oleh Vina, yang kini bermukim di Korea. Ia menuliskan sedikit kata hati sang suami menjalani hari-harinya berjauhan dengan keluarga. Ia mengibaratkan hubungan mereka sebagai setrikaan. Ada kalanya ia harus bergeser ke Jakarta, kadang ke Bandung hanya untuk membuat rajutan cinta keluarga mereka tetap licin.
Sebuah pilihan sulit bagi mereka berdua, tapi mereka jalani sebagai harga sebuah perjuangan hidup. Apalagi mereka punya mimpi untuk pensiun dini, sehingga formula LDL untuk sementara mereka pilih.
Sayangnya, tulisan versi lelaki ini tidak dibuat langsung oleh sang lelaki. Sang suami menitipkan ceritanya untuk diolah oleh sang istri. Saya dan mungkin pembaca lainnya jadi tak menangkap emosi dari sang suami dalam menjalani hari-harinya terpisah dari keluarga. Yang tergambar hanya kesenangan karena tak ada yang mencereweti kalau pulang malam, atau bisa begadang bebas menyelesaikan tugas kantor. Tapi bagaimana beratnya LDL tak tergambarkan. Padahal akan sangat menarik jika itu tergali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H