Serangan Fajar Jilid II: Sebuah Bingkisan Untuk Pemilih
Memasuki masa menjelang pemilihan, bahkan hingga pada hari pemilihan, kita seringkali disuguhi dengan berbagai 'bingkisan' politik dari para kontestan. Fenomena ini kemudian sering dikenal dengan istilah 'serangan fajar'. Tujuan utama dari 'serangan fajar' adalah untuk mempengaruhi para pemilih dengan memberikan 'bingkisan-bingkisan' tersebut tepat pada pagi menjelang pemilihan, dalam upaya untuk membeli suara pemilih dengan imbalan tertentu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, praktek semacam ini semakin banyak dikritik, bahkan dalam kadar tertentu dilarang oleh undang-undang, karena dianggap melanggar prinsip integritas pemilihan.
Biasanya, dalam 'serangan fajar', ‘bingkisan’ yang dibagikan cenderung berupa barang-barang konsumsi sehari-hari, uang tunai, atau bahkan janji-janji manis yang menarik perhatian. Sehingga, dengan adanya praktik-praktik seperti itu, proses demokratis yang seharusnya berintegritas dan bermartabat, berubah menjadi pertarungan antara uang dan keuntungan sesaat. Metafora ini dapat dibandingkan dengan sebuah pasar, di mana suara pemilih dinilai sebagai ‘barang dagangan’ yang dapat diperjualbelikan. Hal ini menciptakan paradoks dalam sistem demokrasi, di mana kepentingan individu atau kelompok tertentu dengan “cara-cara yang culas dan tak tahu malu” dapat mengungguli kepentingan nasional dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa terkecuali, tanpa pandang bulu.
Sedari awal, tulisan ini ditujukan untuk memberikan ‘bingkisan’ pengetahuan dan renungan untuk para pemilih, agar mereka dapat tercerahkan dan memilih berdasarkan rasionalitas yang mereka miliki. Melalui pemahaman yang mendalam tentang hakikat demokrasi, esensi pemilihan umum, pola pikir para kontestan serta nilai dan arti sebuah vote dalam bilik suara, diharapkan para pemilih dapat menjalankan hak suaranya dengan bijak, menjalankan kewajiban demokrasinya dengan penuh tanggung jawab, dan menempatkan kepentingan bersama di atas segala-galanya.
Paradigma Kontestan: Market-Driven vs Value-Driven
Dalam panggung politik, para kontestan pemilu seringkali dibagi menjadi dua kategori besar: yang didorong oleh pasar (market driven) dan yang didorong oleh nilai (value driven). Paradigma market-driven merujuk pada strategi di mana partai politik atau kandidat mengatur kampanye mereka berdasarkan preferensi dan permintaan pemilih, seperti halnya perusahaan mengelola produk dan layanannya menurut permintaan pasar. Di balik strategi ini, terdapt asumsi bahwa untuk memenangkan pemilihan, para kontestan harus mengabulkan keinginan dan memenuhi harapan pemilih, dengan menawarkan janji-janji manis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menarik perhatian dengan gimmick-gimmick yang memikat hati. Namun, penggunaan buzzer politik, kampanye negatif, dan paham ‘tabrak-tabrak masuk’ menunjukkan bahwa pendekatan ini, dalam tahap yang ekstrem, dapat melanggar prinsip demokrasi dan integritas pemilihan. Hal ini kemudian mengundang pertanyaan tentang sejauh mana pendekatan ini memperhitungkan moral dan etika, yang seharusnya menjadi pondasi dalam proses pemilu bersama.
Di sisi lain, paradigma value-driven menempatkan nilai-nilai dan prinsip sebagai fokus utama kampanye. Para kontestan yang mengadopsi pendekatan ini berupaya membangun citra yang berakar pada nilai keadilan, nilai kejujuran, nilai transparansi, dan nilai-nilai lainnya yang dianggap penting bagi kemajuan negara yang memegang prinsip demokrasi. Walaupun kadang-kadang kurang menarik secara komersial karena lebih menitikberatkan pada substansi daripada penampilan, terutama di tengah masyarakat Indonesia yang cenderung lebih tertarik pada gaya dan kemasan, paradigma ini sebenarnya mempromosikan pentingnya prinsip "taat pada tuhan, patuh pada hukum, dan setia pada rakyat" dalam setiap langkah dan tindakan dalam proses pemilihan.
Dalam konteks Pilpres 2024, pertarungan antara paradigma market-driven dan value-driven kental terasa. Sementara satu pihak dengan gagahnya mengabaikan etika – ‘Ndasmu Etik’ katanya, menabrak moral, bahkan menempuh cara-cara yang diluar akal dan logika – ya, apapun asalkan menang ujarnya. Pihak lain dengan rendah hatinya, berkampanye dengan dialog terbuka – Desak-Desak itu nama programnya, mengembalikan demokrasi sebagaimana mestinya, menggenggam kokoh nilai dan etika, serta membawa ide adil dan makmur untuk semua. Namun dalam prakteknya, kelompok kedua ini dihadapkan pada tantangan besar dalam menarik perhatian masyarakat yang terhipnotis oleh janji-janji manis dan gimmick-gimmick pasar. Muncul pertanyaan selanjutnya, dimanakah posisi kita? Menjadi pihak yang mendukung ‘politik asal menang dan tidak kalah’ atau pihak yang memilih ‘politik harus benar dan tidak dengan cara-cara yang salah’ ?
Ingat! Memilih = Berpihak
Alkisah dahulu kala, Nabi Ibrahim setelah melakukan ‘kampanye’ tauhid di depan Namrud dan para pengikutnya, diberikan sanksi berat, berupa dibakar hidup-hidup di tengah padang pasir dengan tangan dan kaki terikat. Ketika kejadian tersebut, banyak makhluk bumi menyaksikan dan berusaha membantu Nabi Ibrahim, termasuk seekor burung pipit. Burung itu, meskipun kecil dan lemah, memiliki hati yang besar dan jiwa yang gagah. Burung itu terbang bolak-balik dari tepi sungai terdekat, mengambil air dengan paruhnya yang kecil namun memikat, dan mencoba memadamkan api yang membara dengan menyiramkan air tanpa henti dengan penuh semangat.
Sementara itu, dari balik bebatuan di dekat sungai, seorang cicak memperhatikan tingkah laku burung pipit. "Apa yang kau lakukan, hai burung kecil?" tanya cicak dengan nada sinis. "Bodoh kau burung, mana mungkin air yang dari paruh kecilmu itu dapat memadamkan api yang sangat besar ini." Namun, burung itu tidak memperdulikannya. Ia tetap saja terus meneteskan air dari paruh kecilnya. Lalu sampai kemudian Ia Berkata "Aku tidak sanggup melihat Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Biarlah air ini terus menetes. Karena hal ini menjadi penanda dimana aku berpihak," kata Burung tersebut membela diri. "Sungguh sebenarnya ini bukan tentang apa hasilnya, bukan tentang apakah aku berhasil atau tidak. Tapi ini tentang dimana aku berpijak dan dimana aku berpihak," kata burung itu. Namun Cicak terus saja tertawa dan bahkan sambil menjulurkan lidahnya, ia malah berusaha meniup api yang membakar Nabi Ibrahim, dengan harapan semakin membara. Walau, memang tiupan cicak tidak ada artinya dan tidak membuat api yang membakar Nabi Ibrahim menjadi besar. Tapi hal tersebut juga menenjukkan kepada apa cicak berpijak dan kepada siapa cicak berpihak.
Dari cerita ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam setiap situasi, termasuk dalam pemilihan umum kali ini, tindakan dan preferensi kita mencerminkan keberpihakan kita. Memang, dalam konteks pemilu tidak ada yang seratus persen benar dan tidak ada yang seratus persen salah. Namun, setiap suara yang kita berikan pada kotak suara sejatinya merupakan ekspresi dari nilai, moral, dan keyakinan kita terhadap calon yang dipilih. Saat kita menyalurkan hak pilih kita, sebenarnya kita juga memberikan dukungan pada pandangan, prinsip, dan visi yang diwakili oleh calon tersebut. Seperti burung pipit yang terus mencoba memadamkan api yang membakar, kita juga harus bersikap proaktif dan konsisten dalam mendukung apa yang kita yakini benar. Walaupun pada akhirnya calon yang kita dukung kalah, tapi tak masalah, karena sejarah mencatat keberpihakan kita, karena sekali lagi, ini bukan hanya sekadar menang dan kalah. Namun, ini adalah tentang berpihak kepada yang benar dan menentang terhadap yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H