Mohon tunggu...
Syaif Al Haq
Syaif Al Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan minat riset dan kepenulisan dalam bidang hukum, sosial dan keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serangan Fajar Jilid I: Pemilu, Kontestasi dan Demokrasi Semu

9 Februari 2024   06:29 Diperbarui: 9 Februari 2024   06:30 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu, Kontestasi dan Demokrasi Semu

Menjelang 14 Februari 2024, suhu politik negeri semakin memanas. Jelas latar belakangnya, karna musim pemilu yang telah tiba. Di tengah arus informasi dan euforia politik yang menarik perhatian, masyarakat dihadapkan pada pilihan besar untuk menentukan pemimpin dan pemangku kebijakan bangsa ke depan. Namun, apakah seyogyanya Pemilu hanya sebatas memilih pemimpin saja, ataukah ia juga menjadi momen refleksi demokrasi dan evaluasi kebijakan dengan seksama?

Sebagai "Panggung" utama untuk mengekspresikan aspirasi rakyat, Pemilu memang memberikan kesempatan bagi berbagai pandangan dan gagasan untuk saling bersaing. Partai politik, calon presiden, dan calon legislator berlomba-lomba untuk memenangkan hati dan suara pemilih. Waktu demi waktu berjalan, peta politik seringkali berubah, dan masyarakat ikut serta menjadi penonton sekaligus pemain dalam drama politik ini. Namun, sekali lagi, apakah kita hanya melihat Pemilu sebagai ajang pemenangan semata? Apakah kita hanya melihat pemilu sebagai sarana 'elit' berganti-gantian dalam berkuasa?

Sejarah mencatat bahwa pemilu dahulu dijalankan dengan dasar kedaulatan rakyat, sebagaimana yang dicontohkan oleh masyarakat Athena, dan dasar pemenuhan hak rakyat seperti visi yang dianut oleh Locke. Sehingga seharusnya, peristiwa pemilihan umum dalam sebuah negara menjadi harus lebih dari sekedar peristiwa politik rutin belaka, melainkan juga momen evaluasi dan refleksi terhadap sejauh mana daulat rakyat itu utuh dan hak rakyat terpenuhi dengan sungguh-sungguh. Namun, nyatanya, dalam konteks pemilihan umum di Indonesia hari-hari ini, sepertinya 'faham' ini mulai pudar. Baik elit ataupun rakyat biasa sudah menganggap pemilu sebagai proses pencoblosan saja. Bahkan tak sedikit narasi dibangun bahwa "Pemilu itu menimbulkan perpecahan"; "Pemilu itu merusak pasar, investor, dan ekonomi"; "Pemilu itu ongkosnya mahal, menghambur-hamburkan APBN"; sampai akhirnya "Pemilu harus cepat usai, lebih cepat lebih baik, 1 putaran lebih baik". Menurut hemat penulis, ini keliru. KE-LI-RU.

Pemilu Dianggap Kontestasi = Panggung Untuk Bersolek

Pada Negara-Negara yang sudah matang menjalankan pemilu seperti United States (US) dan Perancis, election dianggap sebagai momen bertarung (fight), beradu gagasan (debate), dan berkompetisi (compete) sedari awal. Sementara itu, disisi lain, di Indonesia, pemilu seringkali dipandang sebagai ajang ber-contest daripada ber-compete. Semangatnya lebih mengarah pada bersolek ria dan berpamer-pameran ketimbang berdebat, berdialog, dan bertukar pikiran. Sebagai "Model" dalam panggung politik utama, partai-partai dan kandidat cenderung fokus pada penampilan dan pesona, ketimbang substansi kebijakan, visi misi dan program kerja. Kampanye yang dijalankan, lebih sesak dipenuhi dengan "Make up" berupa janji-janji manis, gimmick-gimmick receh, slogan-slogan populis, dan citra yang diromantisasi, sementara diskusi tentang persoalan bangsa, serta gagasan dan program solusi nyata untuk masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari seringkali tidak terjadi.

Penggunaan media massa dan teknologi informasi telah semakin memperkuat tren ini. Pesan-pesan politik dikemas dalam format yang menghibur, provokatif, dan/atau memicu emosi, daripada memberikan pemahaman mendalam tentang isu-isu serius yang menjadi tantangan hari ini dan hari-hari nanti. Dalam upaya memenangkan hati pemilih, pihak-pihak yang bersaing cenderung lebih memilih untuk menonjolkan "Pakaian dan Kemasan" citra yang enak dilihat, daripada merumuskan program yang berbasis data dan analisis yang cermat. Akibatnya, semangat kontestasi dalam pemilu - terlebih di Indonesia -  seringkali lebih terasa seperti sebuah "Catwalk" panggung pertunjukan politik, daripada sebuah proses yang menghasilkan pemimpin yang kompeten dan terbaik.

Sebagaimana sebuah kontes kecantikan, mereka yang menang sejatinya bukanlah yang paling pintar dan paling baik, tetapi yang paling mampu memanfaatkan strategi dan taktik visual yang menarik. Miris memang, tapi apalah daya, begitu kenyataannya, setidaknya sampai hari ini bila berkaca pada 'survey-survey' yang memotret realita. Akar masalahnya sebenarnya sederhana, karna selama ini pemilu hanya dianggap sebagai panggung pertunjukan, rakyat dianggap objek "Penonton" dipinggiran dan demokrasi hanya dianggap jargon dan slogan.

Negara Pura Pura Demokrasi

Terhitung sampai tulisan ini dibuat, sudah puluhan aliansi guru besar dan kampus secara terbuka menyuarakan keprihatinan mereka melalui press release dengan tema 'selamatkan demokrasi'. Selain fenomena-fenomena yang bersifat kualitatif, secara kuantitatif, data dan fakta memang menunjukkan bahwa Indonesia semakin tidak demokratis. Hal ini dibuktikan dengan survey EIU Democracy Index, yang menempatkan Indonesia pada kategori 'Flawed Democracy Country' atau Negara Demokrasi 'Cacat' dengan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia. Selain itu, Freedom House juga menurunkan status Indonesia dari Negara 'bebas' menjadi Negara 'sebagian bebas' dalam konteks demokrasi dan kebebasan berpendapat pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perkembangan sejak reformasi, masih ada kelemahan yang signifikan dalam sistem demokrasi negeri.

Terlebih dalam konteks pemilu dan pilpres saat ini, ketidakdemokratisan semakin terasa jelas. Dari pengkondisian administrasif, penggerakan aparat, pengabaian atas etika dan moral hingga pemanfaatan hak milik negara -- seperti bansos misalnya -- untuk kepentingan politik tertentu, menjelaskan banyak praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Memang, meskipun beberapa orang mungkin berpandangan bahwa bagaimanapun keputusan akhir ada di tangan rakyat sebagai pemilih, namun bukankah penting untuk menjaga integritas proses pemilihan itu sendiri? Sebab pada prinsipnya, pemilu seharusnya dilaksanakan dengan jujur, adil, dan transparan sesuai dengan ketentuan undang-undang dan konstitusi.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai demokrasi dan pentingnya menjaga integritas proses pemilihan dalam sistem politik kita. Karena, Demokrasi bukan hanya tentang memberikan suara, tetapi juga tentang memastikan bahwa suara itu didengar dan dihormati. Demokrasi bukan hanya tentang menebar pesona, tetapi juga tentang memperjuangkan nilai, ideologi dan aspirasi. Demokrasi bukan hanya tentang 'berpura-pura', tetapi juga tentang integritas, etika, moral dan keadilan yang harus dijunjung tinggi. Akhirnya, artikel ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali esensi dari pemilu, yang seharusnya menjadi panggung bagi aspirasi rakyat dan bukan sekadar arena kontestasi politik semu.

Skuyyy, Pilih dengan rasionalitasmu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun