Mohon tunggu...
Syahyuti --
Syahyuti -- Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siapa Peduli Delandreformisasi?

11 Mei 2012   01:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semenjak Indonesia merdeka sampai era reformasi, landreform yang
telah menjadi perhatian semua pihak, tidak pernah efektif diimplementasikan
secara memuaskan. Pada waktu yang bersamaan, berlangsung proses sebaliknya, atau
berupa "delandreformisasi" (istilah dari saya sendiri, bahkan dalam bahasa
Inggris pun tidak ditemukan istilah "delandreformization"), yakni suatu
kondisi yang bergerak ke arah yang berlawanan dari upaya-upaya landreformisasi,
atau secara lebih luas berlawanan dengan tujuan ideal reforma agraria. Hal ini
tampak seperti gejala yang alamiah yang didorong oleh lingkungan sosial ekonomi
politik maupun dari dalam diri petani sendiri. Proses delandreformisasi selama
ini tidak diperhatikan, sehingga belum ada upaya yang serius untuk menanganinya.
Beberapa bentuk utama delandreformisasi adalah penjualan lahan oleh petani,
fragmentasi lahan sehingga menjadi tidak ekonomis, dan konversi lahan yang sulit
dikendalikan. Penyebabnya datang dari berbagai sisi baik karena tekanan ekonomi
dan politik, serta sosiokultural masyarakat. Sebagai langkah awal untuk
pengendaliannya, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa ini suatu proses yang
esensial namun selama ini luput  diperhatikan baik dari kalangan pemerintah, masyarakat maupun pengamat.

Delandreformisasi merupakan persitiwa yang tersembunyi yang luput dari
perhatian banyak kalangan. Ia merupakan peristiwa alamiah yang berlangsung
karena tekanan dan kondisi yang menekan atau menariknya. Di satu sisi, negara
memiliki keterbatasan mengendalikan penjualan lahan milik petani, karena
sertifikat lahan yang sudah dimiliki memberi penguasaan mutlak kepada
pemegangnya.
Demikian pula dengan fragmentasi yang berlangsung karena kultur
pewarisan. Kekuatan pengaturan dari hukum legal tidak menyentuh hal ini.
Pemerintah tidak memiliki perangkat hukum dan kebijakan untuk menjaga berapa
batasan minimal fragmentasi masih boleh dilakukan. Hal ini mengakibatkan, di
beberapa lokasi di Jawa, banyak petani yang hanya mengusahakan sawah tidak
sampai 1000 m2.
Dalam kondisi
ini, masih banyak upaya yang dapat dijalankan untuk menahan laju
delandreformisasi atau setidaknya mengurangi dampak, misalnya berupa kegiatan
konsolidasi lahan, transmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Perbaikan
sistem bagi hasil, yang berada pada sisi non-landreform, selama ini sangat jarang diperhatikan dan
hampir tidak pernah dibicarakan, karena dianggap sebagai hal yang personal
antara pemilik tanah dan penyakap. Di atas itu semua, tumbuhnya perhatian
berbagai pihak terhadap satu fenomena yang spesifik ini, yakni
"delandreformisasi", merupakan langkah awal untuk pengendaliannya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun