Mohon tunggu...
Syahyuti --
Syahyuti -- Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyuluh Pertanian Tidak Seharusnya Malu

11 Mei 2012   00:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Minggu terakhir bulan September 2011, berkembang berita di media massa nasional, bahwa penyuluh pertanian enggan ke sawah. Mereka malu program pembangunan pertanian tidak berjalan di daerahnya. Petani ditekan masalah pupuk yang langka dan mahal, serta benih unggul yang sulit diperoleh; namun penyuluh tidak mampu berbuat apa-apa.
Sikap penyuluh seperti ini merupakan dampak dari kesalahan pemahaman tentang posisi tenaga penyuluh. Kekeliruan ini dimiliki oleh media massa, serta bahkan pada penyuluh itu sendiri. Semestinya, penyuluh bukannya tidak harus malu, namun justeru harus semakin dekat dengan petani. PPL bersama-sama dengan petani dan stakeholders lain harus saling membantu untuk memecahkan hambatan ini. PPL jangan meninggalkan petani sendiri dengan berbagai persoalannya.
Pemahaman yang kurang tepat tentang siapa penyuluh dan bagaimana seharusnya memposisikannya, merupakan masalah yang berulang sejak zaman Bimas tahun 1960-an. Posisi penyuluh menjadi ajang tarik ulur semenjak tahun 1970-an awal sampai era reformasi sekarang. Karena itulah, tokoh-tokoh penyuluhan dengan gigih telah berusaha memperjuangkan posisi yang ideal bagi penyuluh di hadapan pemerintah. Mereka berusaha mendesakkan kebijakan yang kuat dan tegas, dengan memimpikan posisi yang terpisah dari pemerintah.

Mimpi ini mulai terwujud sebagai mana tercantum dalam UU No 16 tahun 2006. UU ini merupakan impian dari kalangan ahli penyuluhan semenjak dahulu, yaitu “membebaskan” posisi penyuluh dari perangkap sebagai petugas pemerintah. Penyuluh bukanlah semata hanya pelaksana program-program pemerintah. Peran utama penyuluh adalah sebagai pendidik petani, lebih mulia dari sekedar staf lapang belaka.
Sebagaimana jelas terbaca pada UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; penyuluh bekerja untuk peningkatan sumber daya manusia. Pada Pasal 1 disebutkan, bahwa sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Intinya, penyuluhan pertanianadalah proses pembelajaran, bukan semata petugas lapang yang hanya memperlancar pelaksanaan program.

Dalam kondisi saat ini dimana pelayanan prasarana pertanian tidak sesuai harapan, semestinya penyuluh tetap mendampingi petani, mendiskusikan dan mencari solusi kreatif dari apa sumber daya yang ada dan mungkin dijalankan. Soal “rasa malu” tersebut tidaklah pada tempatnya. Perasaan ini timbul karena penyuluh memposisikan dirinya sebagai orang pemerintah, karena mereka PNS. Padahal, PPL adalah agen of change, bukan semata agen pembangunan. Meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya adalah tujuan utama dari pembangunan pertanian; dimana program pembangunan hanyalah salah satu alat belaka.
Penyuluh di era Bimas memang tumpang tindih dengan posisi sebagai pelaksana program. Mereka tidak sempat mempraktekkan sistem kerja yang ideal, dan terperangkap dalam metode “dipaksa, terpaksa, dan terbiasa”. Saat ini, semestinya metode ini sudah harus ditinggalkan.

Sebagai tindak lanjut dari amanat UU di atas, Kementerian Pertanian telah menluncurkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini merupakan upaya mendudukkan, memerankan, memfungsikan, dan menata kembali penyuluhan pertanian agar terwujud satu kesatuan pengertian korps penyuluh, satu kesatuan arah dan satu kesatuan kebijakan. Salah satu tujuan dari RPP adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluhan, serta memenuhi jumlah tenaga Penyuluh Pertanian yang belum memadai.
Pemerintah mengimpikan komposisi “satu desa satu penyuluh”. Namun, dari total 74.683 desa di Indonesia, jumlah penyuluh pertanian PNS belum sampai setengahnya. Sampai tahun 2010, jumlah penyuluh PNS baru sebanyak 27.922 orang. Untuk menutupi ini diambil kebijakan untuk mengangkat Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Sampai pada tahun 2009, telah ada sebanyak 24.608 orang tenaga THL. Sayangnya, tidak sebagaimana PPL di era 1980-an, mereka tidak memperoleh pelatihan dan dukungan yang cukup. Mereka tidak cukup bekal untuk menghadapi petani. Bekal teknisnya lemah, sedangkan kemampuan manajemen dan sosiologis dasar tentang petani dan masyarakat desa juga rendah.
Persepsi yang juga keliru adalah memandang bahwa penyuluh hanya PPL yang bersatus PNS. Dalam UU yang baru ini, ada pula PPL dari kalanga swasta serta petani yang disebut dengan “PPL swadaya”. Ketiga macam PPL ini bekerja bersama memberdayakan seluruh pelaku usaha pertanian dengan meningkatkan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Selain itu, mereka juga bertugas melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi
pelaku utama secara berkelanjutan.
Sampai saat ini, pengembangan PPL swasta dan swadaya belum memiliki program yang jelas dan memadai. Persoalan pupuk dan benih yang langka dan mahal akan lebih mudah diurai jika PPL dari PNS dapat menjalin kerjasama untuk saling menolong dengan PNS swasta dan swadaya. (Syahyuti, peneliti sosiologi di PSEKP, Bogor)
******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun