Mohon tunggu...
Syahrul Nur Anwar
Syahrul Nur Anwar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Medioker

Setelah merobek rahim, inginnya sih ngerobek dunia

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mencoba Memamah Hikmah

27 Agustus 2023   13:08 Diperbarui: 2 Oktober 2023   18:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin kematian masih sabar menunggu si tua bangka. Malam ini tepatnya pada bulan Juli suasana duka menyelimuti rumah reyot yang ditempati pria yang sudah udzur itu. 

Warga berkumpul dengan suguhan air teh dan kopi panas yang dihidangkan oleh kerabat-kerabat si aki dan para ibu rumah tangga dari tetangga si aki, anak-anaknya mulai berdatangan dari kota seakan masih tepercaya dengan cara apa si aki mati. Bocah-bocah berkumpul di halaman rumah duka sembari memainkan permainan di gawainya, beberapa pemuda asik mengobrolkan tim sepak bola dan pekerjaan tempo hari di tempat kerjanya; bapa-bapa berkumpul di depan pintu rumah-- setelah mengirimkan doa untuk si aki-- membicarakan politik, adanya pemilihan kepala desa yang akan segara dilaksanakan. Suara isak tangis masih terdengar lirih di dalam rumah, bersamaan dengan suara obrolan ibu-ibu yang sedang membakar kayu, berbenah untuk segera membuat sedikit cemilan dan mendidihkan air. Aku berada dipojokkan duduk jongkok di dekat sungai yang hanya disinari bara roko, mencoba menikmati apa-apa yang terjadi. 

Di pagi harinya tatkala matahari merayap naik, mengahamburkan kabut serta melelehkan hawa dingin. Aku menghangatkan diri dengan segelas kopi pahit, sembari menatap langit-langit yang sedikit demi sedikit mulai menampakkan warna pagi, kicau burung ditimpal langkah malas para petani; tak lupa suara bising knalpot motor bebek--yang mengganggu ketenangan pagi--para PNS yang sembari mengusap-ngusap rasa kantuknya; lengkingan serak sapu lidi dari ibu-ibu yang sedang menyapu halaman sembari menunggu anaknya untuk segera bersiap pergi sekolah. Di dalam rumah-rumah suara resah spatula dan katel beradu; buruh-buruh pabrik yang was-was mendapat SP dan suara alarm dari gawai para pemuda yang masih berupaya menetapi janjinya, mencoba untuk membangunkannya. 

Kuhela sedikit udara pagi, msih terasa hawa duka menyelimuti, walaupun aku tak terlalu memikirkannya toh si aki sudah selayaknya mati, maksudnya bahwa memang apalagi yang mau dijalani? Seseorang pernah bilang "Adalah tidak sopan hidup melebihi umur 40 tahun. "

Agaknya, Aku masih tak mengerti dengan pemandangan yang telah disuguhkan, apa maksud dari semua ini? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun