Seorang yang terdidik dengan bukan terdidik, sama ada ia seorang sarjana atau bukan, ditentukan oleh cara dan metode berpikirnya dalam memecahkan suatu masalah. Seorang yang terdidik, ia akan memecahkan masalah secara sistematis, sehingga masalah yang sama diharapkan dapat ditanggulangi dengan baik jika datang di kemudian hari. Untuk itu, jika muncul masalah berulangkali, namun tidak pernah tertanggulangi dengan final dan progresif, bisa jadi cara menyelesaikan masalah tersebut tidak sistematis dan tidak mengikuti kaedah-kaedah berpikir rasional.
Berpikir pemecahan masalah secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut. Langkah pertama, dimulai dari merumuskan masalah. Merumuskan masalah ini suatu hal yang mendasar dan determinan. Sebab tidak jarang terjadi jungkir-balik kedudukan antara solusi dan masalah. Dipandang solusi, rupanya masalah. Ini sangat relatif sifatnya. Misalnya, demokrasi banyak dipandang sebagai solusi bagi masyarakat Indonesia, padahal belum tentu. Bisa jadi ia merupakan masalah tersendiri. Demikian juga, pembaharuan Islam dipandang solusi, bisa jadi tidak, justru sebaliknya. Oleh sebab itu, untuk merumuskan masalah, haruslah diukur dengan benar dan jelas. Ukurannya berdasarkan nilai-nilai universal dan subjektif si perumus masalah. Umpamanya, kecelakaan lalu lintas, tentu merupakan masalah universal. Sebaliknya, melanggar aturan adat, bisa jadi suatu masalah lokal. Karena itu, hendaklah pada langkah pertama perumusan masalah tersebut, sudah mencakup pertimbangan nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal. Misalnya kecelakaan lalu lintas yang biasanya dapat menghilangkan nyawa, bisa diukur apakah itu suatu masalah universal atau lokal. Yang jelas, hilangnya nyawa atau cacat pada manusia karena kecelakaan lntas sudah tentu masalah universal sekaligus masalah lokal.
Setelah rumusan masalah clear, langkah berikutnya ialah mengapa terjadi masalah. Barangkali akan terdapat sekian asumsi mengapa masalah itu terjadi. Lalu asumsi itu diuji ketepatan dan kebenarannya, baik dalam logika maupun eksprimen lapangan, hingga kemudian ditemukan faktor utama atau faktor pokok penyusun masalah (elementer). Jadi bukan faktor komplementer apalagi suplementer. Misalnya masalah kecelakaan lalu lintas ditemukan masalah pokoknya yaitu tidak disiplin mematuhi aturan berlalu lintas.
Setelah berhasil menemukan faktor elementer, maka melangkah ke tahap berikutnya, yaitu bagaimana memecahkan masalah tersebut. Pemecahan masalah ini, biasanya dengan menghilangkan faktor-faktor penyusun masalah. Umpamanya, kecelakaan lalu lintas, ternyata karena tidak disiplin dalam melaksanakan tata aturan berlalu lintas, maka solusinya jelas: disiplinlah setiap pemakai jalan raya dengan aturan berlalu lintas. Oleh karena itu, rekomendasi solusi praktisnya: polisi harus mengedukasi dengan efektif masyarakat pengguna jalan raya, baik mematuhi marka jalan maupun memakai perlengkapan pengendara.
Dalam sistem industri sebenarnya mengajarkan dengan baik hal ini. Apabila misalnya, bahan baku tidak sesuai spesifikasinya, maka dipastikan out put produknya pun akan tidak sesuai harapan. Mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi saya sendiri maupun pembaca. Perlu saya kemukakan, ide ini terilhami dari gagasan Cara Berpikir Problem Solving yang disampaikan oleh Eddy Boekoesoe kepada penulis. Untuk hal itu saya sampaikan terima kasih kepada beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H