Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Ali Jaka (29)

15 Mei 2014   04:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kita ini telah lama tidur nyenyak. Mata kita telah lama dibutakan. Hati kita telah membatu sekian lama. Nyali kita hampir sudah punah. Kinilah saatnya membuat keputusan. Kinilah saatnya mengubah keadaan. Siapkah kalian kawan-kawan?” seru Ali Jaka dari mobil pick up komando yang berada di bagian terdepan dari deretan bis-bis. Selain Ali Jaka, ada Joyo, pimpinan-pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus dan Bolkas Batubara. Selaku koordinator lapangan, Bolkas Batubara mengatur setiap pimpinan mahasiswa untuk memberi orasi agar semangat mahasiswa tetap terjaga.

“Siaaap!!” seru barisan mahasiswa demonstran menyahuti orasi Ali Jaka.
Ratusan bis terdiri dari metro mini, kowan bisata, kopaja, dan mayasari berderet-deret mengular di jalan Sudirman. Isinya penuh dengan mahasiswa dari kitaran Depok dan Ciputat. Mereka menuntut segera dilaksanakannya Perombakan Ekonomi. Mahasiswa memandang, struktur kekuasaan ekonomilah biang kerok dari persoalan politik dan sosial yang ada.

Setiba di bundaran HI, bis-bis itu memuntahkan isi perutnya. Terlihat ribuan mahasiswa menyemut memenuhi bundaran HI. Ditatap dari helikopter yang meraung-raung dari udara, massa itu tampak seperti bunga berwarna-warni. Kuning, biru, hijau, merah dan hitam. Namun terlihat hidup karena bergerak ritmis.

Kemudian helikopter bergerak ke kawasan Kuningan. Tepat di atas sebuah gedung menjulang. Itulah markas PT. Pigland, Tbk.

Seperti halnya keadaan di bundaran HI, massa di tempat ini tak kalah besarnya. Cuma, tak ada warna-warni. Kebanyakan berwarna hitam. Massa itu mengepung gedung tersebut. Suara teriakan dari massa tersebut membahana terdengar hingga jarak satu kilometer. Sirene polisi meraung-raung. Ada ambulan, ada water canon, ada baracuda, ada panser, dan ada pasukan polisi hura-hara yang siap menerima komando. Senapan tergenggam di tangan masing-masing pasukan itu. Perwira-perwira sibuk berkeliling mengawasi pasukan. Handy talky di tangan, mulut komat-kamit. Yang jelas para komandan itu bukan sedang berzikir. Tapi agaknya tengah berkordinasi intensif dengan para komandan di lapangan.

Sementara massa yang mengepung Menara Pigland tersebut rupanya makin lama makin membesar saja. Orang-orang beriringan tengah menuju ke Menara Pigland. Siaran langsung dari tempat kejadian oleh berbagai televisi yang disaksikan oleh warga Jakarta di rumah masing-masing, rupanya dimaknai oleh rakyat bawah sebagai sebuah panggilan. Itulah sebabnya, dari gang-gang, pemukiman-pemukiman penduduk yang terjepit di antara gedung-gedung apartemen yang congkak, keluarlah semua penduduk bagaikan air bah mengalir ke lokasi massa yang dikuasai oleh komando Kong Jawir. Polisi kalah jumlah, dan akhirnya tak berkutik menghalau massa yang datang bergelombang-gelombang.

Siang mendekati pukul 12.00 WIB. Mentari makin terik. Haus dan rasa lapar mulai mengusik ketenangan jiwa massa. Kong Jawir berseru, “Heeiii Soe Kiat! Turun kau ke sini. Hadapi kami dengan gentlemen. Jangan cuman ngumpet. Kalau kau ngumpet, kami akan mengejarmu seperti tikus.”
Tentu saja Soe Kiat tidak pernah mendengar pekikan Kong Jawir itu, sebab ia sedang memetik bunga seorang gadis Thai di Pattaya. Ia mengambil kesempatan itu di sebuah resort sehabis menuntaskan pembicaraan bisnis dengan mitra Thailandnya untuk membangun kawasan resort baru, di tepi pantai. Apalagi gadis itu hanyalah sajian pembuka bagi hubungan bisnis di antara ia dengan mitranya.

Soe Kiat tergesa-gesa menuntaskan petikan bunganya disebabkan getaran handphone-nya yang tergeletak di atas kasur yang kusut mengganggu keasyikannya. Ia mengangkatnya, lalu mendengarkan suara yang ketakutan. Itulah suara George Sudibyo, kepercayaannya di Indonesia. “Pak, mati kita. Kita nggak bisa keluar dari gedung,” kata George Sudibyo.
“Ada apa? Bicara yang tenang,” pinta Soe Kiat.
“Massa mengepung gedung kita. Mereka sangat banyak, Pak. Kita susah untuk evakuasi.”
“Sudah. Cepat keluar dari situ. Selamatkan yang bisa diselamatkan. Hubungi Kompol Martukyo. Ia kan yang pegang armada helikopter kita.”
Baik, Pak.”
Belum sempat helikopter yang dipanggil oleh George Sudibyo tiba di lokasi, entah dari mana asalnya, listrik gedung itu tiba-tiba padam. Orang-orang kantoran di dalam gedung menjerit histeris. Suasananya hiruk-pikuk. Tapi tidak bagi Prajudo. Ia mengambil kesempatan itu untuk melampiaskan hasratnya kepada Regina, sekretaris George Sudibyo. Ia memeluk perempuan berambut pendek itu yang rambutnya lebih pendek dari rambut Prajudo sendiri. Anehnya, Regina senang saja dipeluk oleh Prajudo.

Tiba-tiba gedung terasa pengap asap. Apa yang terjadi? Perlahan-lahan api melalap sekujur tubuh gedung tersebut. Siapakah yang membakar gedung itu? Ooo .... rupanya seorang anak buah Kong Jawir telah ambil inisiatif tanpa menunggu komando dari Kong Jawir. Polisi menembakkan water canon. Massa mengusir polisi. Terjadi adu kuat antara massa dengan Polisi. Tak terelakkan lagi, pecahlah pertempuran antara polisi dan massa. Sekarang, mobil polisi yang dibakar. Senjata dirampas. Polisi tak ada pilihan kecuali memuntahkan peluru tajam untuk menghalau massa. Massa bukannya terhalau, justru makin beringas melawan polisi. Darah tumpah di mana-mana. Darah massa dan darah polisi.

Sementara massa berjibaku baku hantam dengan polisi, api terus melalap seisi gedung. Tak ada yang tersisa lagi. Semua terpanggang bagai ayam panggang. Aroma daging hangus memenuhi udara lokasi. Termasuk George Sudibyo, Regina dan Prajudo menggelepar kehabisan oksigen.
Apa pun yang terjadi, pemberontakan rakyat telah meletup dengan keras. Tanah dan jalanan telah tersiram amis darah. Polisi terus menambah pasukan untuk memadamkan dua api sekaligus: api pemberontakan dan api yang melalap gedung angkuh itu.

Hampir saja Jakarta terbakar di mana-mana, jika saja Presiden tidak dengan cepat mengumumkan seruan kepada rakyat agar dapat menahan diri melalui televisi. Seruan dari Presiden itu berhasil mendinginkan situasi di lokasi bentrokan. Tapi tidak di bundaran HI. Tentara membantu polisi menguasai keadaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun