Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangkitnya Muslim Tanpa Partai

22 Juli 2014   17:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:35 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari ajang pilpres 2014. Yang paling berharga dari semua hikmah yang muncul ialah bangkitnya komponen masyarakat yang saya sebut Muslim tanpa partai.

Muslim tanpa partai mengingatkan kita kepada istilah Muslim tanpa mesjid yang digagas oleh almarhum Kuntowijoyo. Tapi yang saya maksud Muslim tanpa partai berbeda dengan Muslim tanpa mesjid. Muslim tanpa partai adalah orang-orang yang terikat secara emosional dan kultural dengan agama Islam, tapi menolak untuk berpartai karena berbagai alasan. Alasan yang utama ialah mereka tak berpartai karena menganggap tak ada satu partai pun yang dapat menampung aspirasi mereka. Terhadap partai-partai Islam, mereka menanggung kecewa disebabkan partai-partai Islam tersebut selain tidak mencerminkan pelaksanaan Islam, juga karena banyaknya elit partai Islam yang mencoreng nama baik Islam akibat perbuatan korupsi. Akibatnya mereka menolak untuk bergabung dengan partai Islam.

Dalam ajang pileg 2014 yang mendahului pilpres 2014, mereka memilih untuk tidak menyalurkan hak suaranya dengan alasan bahwa tak ada satu partai pun yang dapat diharapkan, termasuk partai-partai Islam, untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Aspirasi mereka lebih bersifat moral dan ideal ketimbang materialistik seperti pada umumnya aspirasi konstituenpartai maupun para pengurusnya. Mereka hanya mengharapkan Islam berkembang lebih pasti dan negeri mereka bergerak ke arah yang lebih bermartabat di tengah berbagai tantangan regional maupun global.

Hal itu dapat dipahami mengingat mereka pada umumnya well informed, well educated dan kehidupan ekonomi sedikit lebih mandiri. Ditambah lagi zaman jauh sangat berubah di zaman booming media sosial dewasa ini. Saat ini setiap orang yang terhubung dengan media sosial akan memperoleh limpahan informasi yang jauh lebih segar dan luas ketimbang di masa lalu yang hanya mengandalkan perolehan informasi dari media-media konvensional. Tentulah keadaan semacam itu memiliki dampak signifikan terhadap sikap dan pandangan politik bagi seseorang. Muslim tanpa partai merupakan akibat dari keadaan ini.

Sekalipun Muslim tanpa partai kelihatan apolitis karena tidak bergabung dengan satu partai pun, bukan berarti mereka sama sekali tidak mengerti politik dan meninggalkan politik. Ternyata pilpres 2014 yang syarat emosional dan ideologis ini, telah membangkitkan kembali kalangan Muslim tanpa partai untuk bertindak dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Sekalipun ruang partisipasi yang diberikan kepada mereka amat terbatas karena bukan anggota partai dan hanya tersedia pilihan untuk memanfaatkan suara dan pengaruh yang mereka miliki, tetapi mereka benar-benar mengoptimalkan potensi mereka secara kreatif dan signifikan.

Demikianlah saat dihadapkan pada pilihan antara memilih Jokowi atau Prabowo, spontan mereka merasa tersenggol. Sikap mereka yang abstain pada pileg, ternyata tidak berlaku lagi untuk konteks pilpres. Mereka melihat pilpres bukan sekedar pertarungan memperebutkan suara untuk mendapatkan kursi kekuasaan di antara Prabowo dan Jokowi seperti yang mereka lihat pada ajang pileg. Tiba-tiba saja mereka menyadari bahwa masa depan dan idealisme yang mereka pendam selama ini terhadap agama dan bangsa mereka, turut dipertaruhkan. Bilamana memilih Jokowi mereka sudah menghitung implikasi dan konsekwensinya. Sebaliknya bilamana memilih Prabowo, implikasi dan konsekwensinya pun sudah di depan mata. Dengan mencermati informasi yang melimpah dari kedua capres tersebut, baik dari sisi visi misinya, komponen pendukungnya masing-masing, rekam jejaknya masing-masing, hingga setiap desas-desus yang meliputi setiap capres, akhirnya mereka menjatuhkan pilihan pada capres yang lebih cocok dengan karakteristik dan aspirasi mereka. Rupanya, capres yang paling dekat dengan aspirasi mereka ialah Prabowo.

Alasan yang kuat bagi mereka untuk menjatuhkan pilihan kepada capres Prabowo ialah bahwa capres yang berlatar militer ini menjanjikan pro Islam yang lebih kuat ketimbang Jokowi. Selain itu, Prabowo cocok di mata Muslim tanpa partai karena juga menjanjikan kondisi Indonesia yang lebih dihargai dan disegani di mata negara-negara lain. Kedua hal ini, bagi Muslim tanpa partai sangat berharga, dan hanya bisa dijamin realisasinya oleh capres Prabowo. Sekalipun Prabowo memiliki rekam jejak yang tidak sedap dalam konteks agenda reformasi, pada akhirnya skala prioritaslah yang lebih dikedepankan oleh kalangan Muslim tanpa partai dalam menentukan pilihannya. Kedua isu di atas, yaitu pro Islam dan visi negara yang kuat dan disegani di mata internasional, merupakan prioritas utama bagi kalangan Muslim tanpa partai dibandingkan dengan isu HAM, toleransi dan pluralisme. Bukan berarti tiga isu yang disebut di belakang itu tidak penting bagi kalangan Muslim tanpa partai. Sebab, situasi yang mereka hadapi ialah antara memilih Prabowo atau Jokowi, maka isu yang dibawa oleh Prabowo-lah yang lebih urgen bagi aspirasi mereka. Demikianlah, sampai-sampai pada salah satu komentar pendek yang dapat dipandang mewakili kalangan Muslim tanpa partai berbunyi sebagai berikut: “Gue sih sebenarnya muak sama partai dan pemilu. Tapi gue nggak mau hari gue kiamat dengan membiarkan capres itu sebagai presiden. Mending Prabowo, jelas pro Islam.”

Bila dikumpulkan segala status FB maupun tweets dari kalangan Muslim tanpa partai ini, tentu tidak akan cukup ditampung dalam tulisan yang singkat ini. Kebangkitan Muslim tanpa partai pada pilpres 2014, merupakan suatu gejala yang menarik untuk dipelajari. Gejala ini juga menunjukkan faktor Islam dalam politik Indonesia selalu saja muncul dan mengambil bentuk yang beragam, tergantung bentuk tantangan dan situasinya. Sekalipun belum ada riset yang saya ketahui tentang Muslim tanpa partai, tetapi eksistensi dan signifikansinya sudah dapat dirasakan pada pilpres 2014. Pengaruh politik mereka hadir mewarnai, bergerak secara meluas namun dengan sukarela yang tinggi. Sampai saat ini mereka tampaknya tidak diikat oleh satu lembaga pun.

Merawat Momentum

Sekarang sudah jelas terlihat munculnya Muslim tanpa partai. Mereka merupakan aset yang berharga bagi agama dan bangsa. Mereka tipikal dari generasi pasca Orde Baru yang aktif dan suka independensi. Mereka menghindari budaya patronase. Mereka terdidik dan merupakan bagian dari kelas menengah yang memiliki orientasi Islam yang kuat. Sekalipun demikian, mereka sangat nasionalis dan berharap sekali agar negara mereka menjadi negara yang sejajar kemajuan dan kekuatannya dengan negara-negara seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Mereka percaya, hal itu dapat dicapai jika ada kepemimpinan yang kuat dan mengakar dengan Islam yang ada di Indonesia.

Tinggal bagaimana, peranan mereka selama pilpres 2014 ini tidak disia-siakan oleh pemerintahan baru nanti. Tidak saja karena mereka memiliki potensi yang baik, tapi juga memiliki spirit dan kecakapan yang dibutuhkan oleh bangsa yang sedang bergerak maju ini. Mudah-mudahan saja. Walla’alam bishshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun