Mohon tunggu...
Syahrul -
Syahrul - Mohon Tunggu... -

menulis, disaat kesempatan itu ada...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Maghrib yang Berkesan..

28 Oktober 2011   14:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:22 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore disebuah jalan menuju musholla-Nya. Meski harinya telah berlalu, namun kini, hari itu, menjadi sebuah kenangan yang indah dan tak terlupakan dalam hidup ini. Sore itu, cuaca tidak terlalu panas juga tak terlalu dingin, karena di atas langit sana awan cukup merata dan berwarna keputihan. Mirip setelah hujan mereda. Angin yang berhembus sangatlah lembut dan terasa dingin saat kulit ini diterpa angin tersebut. Merasakan kesejukan udara yang sangat jarang terjadi dihari-hari sebelumnya. Sore itu seperti menjadi milik diri ini seutuhnya, sebab diri ini begitu menikmatinya hari itu. Meski banyak orang pada saat itu, tapi mereka masih sibuk dengan kesibukan sorenya, seolah melupakan suasana yang beda saat itu. Sebagian lagi ada yang melepas lelah setelah mencari nafkah di teras rumah atau bangku-bangku yang tersedia pinggir jalan itu. Ada yang bercengkrama satu sama lain, entahlah apa yang menjadi isi pembicara mereka yang sore itu, mereka makin asyik dengan obrolan ringannya. Sesekali mereka tersenyum riang dan tertawa kecil dari hasil obrolannya.

Lain halnya dengan diri ini. Ia tetap menikmati desiran angin yang mengenai jasad ini dengan lembut dan sepoi-sepoi. Terasa dingin dikulit, namun menentramkan hati setelah sibuk dengan rutinitas kerja seharian. Ditemani cahaya keputihan diatas langit sana yang memantulkan cahaya terang ke bumi ini yang terus dipijak oleh banyak manusia. Matahari tak terlihat sore itu. Ia tertutupi awan yang merata dilangit sana. Yang terasa hanyalah cahayanya yang berubah memutih dan menjadi terang menyinari bumi ini karena diterhalang awan yang menutupinya.

Waktu terus bergulir. Hari akan memasuki gelapnya. Terlihat di ujung barat sana, sepertinya matahari akan tenggelam di ufuk sana dan tak lagi memancarkan cahayanya. Tapi sayang tak terlihat dengan jelas. Matahari itu masih tertutupi awan. Diri ini beranjak jalan dan melangkah menyusuri jalan sebuah gang cukup bisa dilewati sepeda motor. Kaki ini terus melangkah menuju sebuah gang kecil lagi yang hanya bisa dilalui seorang saja. Bergantian. Sebab diujung gang kecil itu ada mushollah kecil yang menjadi rumahNya.

Saat berjalan ke musholla itu, disana tengah melantunkan sebuah seruan yang mengajak manusia untuk berhenti sejenak dari aktifitas sore itu untuk segera menyambut panggilanNya. Adzan maghrib berkumandang dan menyebar kerumah-rumah sekitar lewat pengeras suara. Suara itu menyeru para hamba-hambaNya untuk melupakan sebentar kesibukan duniawinya dan beralih untuk menuju taat padaNya. Suara yang mengajak kita meraih dan mengumpulkan pahala dariNya dengan langkah-langkah kaki kita saat menyambut seruanNya dan menuju rumahNya. Seperti yang kita tahu dari sebuah hadis Rasul shallallahi ‘alaihi wasallam, bahwa satu langkah kita akan mendapatkan kebaikan (pahala) dariNya. Makin banyak langkah, makin banyak pula pahala yang diperoleh. Malaikat pun berlaku adil dalam mencatatnya langkah-langkah tersebut. Ia tidak membedakan jauh dekatnya jarak menuju musholla. Ia hitung semua ke sebuah buku khusus dan tercatat sebagai amal kebaikan bagi yang menyambut seruanNya. Sebuah seruan yang mengajak kita pada kemenangan yang sejati tatkala sang muadzin sampai pada kalimat, “hayyaa'alal falaah...”. Setelah sebelumnya muadzin itu mengajak manusia untuk memenuhi perintahNya, sholat, dengan suaranya yang menggema disetiap hati yang mendengarnya,“hayyaa'alashsholaah...”.

Akhirnya, suara adzan itu diakhiri dengan suara yang sering dengar dan kita lantunkan, baik dalam sholat itu sendiri maupun diluar sholat. Seperti persaksian kita kepada Allah dengan tidak menyamakan dengan yang lainnya selain Dia. “Laa ilaaha illallaah...”suara itu dilantunkan terakhir dan makin lama makin merendah suaranya setelah sebelumnya dibuat agak keras sedikit. Kalimat terakhir ini mengingatkan kita pada banyak hal. Diantaranya tentang syahadat kita, yang merupakan dasar dan pokok dari iman dalam hati. Ia juga, syahadat itu, merupakan pembeda manusia antara yang beriman dan kafir kepada Allah. Ia juga adalah kunci. Kunci yang akan membukakan pintu surga seperti yang dikisahkan dan sampaikan oleh sahabat Rasul, Abu Bakar ash-Shidiq, bahwa kalimat syahadatlah yang akan bisa membukakan pintu surgaNya kelak. Semoga kita bisa menjaga dan mempertahankan kalimat itu hingga akhir kehidupan kita. Selesai kumandang adzan, tak lupa diri ini juga berdoa, doa selepas adzan: “Allahumma innahadza iqbalu lailik, wa idbaru naharik, wa ashwatu du’atik, faghfirlii…”

Saat didepan pintu mushollah itu, tak lupa juga mengucapkan doa untuk saat memasuki rumahNya:“Allahummaghfirlii dzunuubii waftahlii abwaba rohmatik..”. Dan kaki kananlah yang lebih dulu melangkah kedalamnya. Didalam mushollah itu, diri ini langsung mengambil air wudhu ditempat yang sudah disediakan. Karena belum sempat ambil wudhu dirumah. Kala berwudhu, terbayangkan segala manfaat yang dihasilkan dari wudhu itu sendiri. Air wudhunya terasa dingin. Tenyata ia mampu mendinginkan hati ini dan menghilangkan rasa kepenatan yang selama seharian penuh bergelut dengan rutinitas mencari nafkah dilain tempat. Ketika wajah ini dan anggota tubuh lainnya dibasuh air wudhu itu, rasa segar menyelimuti diri ini.

Kesegaran baru tercipta lewat wudhu itu. Air wudhu itu suci lagi menyucikan. Ia telah membersihkan diri ini dari segala kotoran yang melekat di tubuh ini. Ia juga telah merontokkan dan menyapu bersih dosa-dosa bersama turunnya air wudhu ke lantai yang dilakukan anggota tubuh ini selama diluaran sana yang telah mengotorinya dengan debu-debu maksiat yang menempel disetiap bagian-bagian yang dibasuh air wudhu itu. Mata di wajah yang melihat hal yang tidak dihalalkan olehnya yang tercipta dengan sengaja atau tidak, kecil atau besar, sebentar atau lama, banyak atau sedikit, semua mengering dan hilang setelah basuhan air wudhu itu membasahinya. Tangan yang tak sengaja bersentuhan dengan kulit yang bukan mahromnya, tangan juga yang suka berbuat jahil, kasar dengan yang lain, dan sebagainya. Kuping yang mendengar kata-kata maupun suara-suara yang kurang baik dan menyebabkan terlenanya hati dan melalaikan dalam mengingatNya. Kaki yang melangkah ketempat-tempat yang tidak seharusnya dimasukinya menjadi tujuannya, lalu menghadirkan dosa ditempat yang menjadi tujuannya itu. Begitu pula dengan otak yang ada dikepala ini, yang biasa digunakan berpikir. Tanpa sadar atau tidak pikiran itu, mungkin, telah membawanya pada sebuah imajinasi yang kotor, niat jahil, bahkan bayang-bayang seronok terlintasinya. Otak dan pikirannya yang terdapat dikepala ini tak terkontrol dan tak terjaga dengan baik. Dan semua anggota tubuh tadi terbasuh dengan air suci yang menyucikan. Air wudhu itu tak hanya mencipta kesegaran dan kesehatan, namun juga menyucikan hati dan jiwa kita. Sebab dengan wudhulah kita akan bertemu denganNya dalam keadaan bersih, baik hati maupun jiwa. Kita akan berdiri dihadapanNya dengan kondisi badan yang sehat dan prima.

Setelah berwudhu, tak lupa pula membaca doa selepas wudhu. “Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh…”. Diri ini pun duduk sejenak diatas sajadah panjang berwarna merah dengan motif yang sama disetiap pijakan kaki saat berdiri. Duduk sementara sembari menunggu iqomat dikumandangkan sang muadzin tadi. Suasana yang dirasakan saat duduk begitu tenang dan damai dalam hati ini. Meski ruang musholla itu sebagian telah diisi oleh anak-anak yang ingin juga mengikuti sholat maghrib berjama'ah. Dan tak terelakkan, sedikit suara gaduh dan berisik yang ditimbulkan dari kumpulan anak kecil yang berkumpul disudut ruangan musholla.

Disudut lain, orang tua dan dewasa, ada yang mengerjakan sholat sunnah qobliyah dua rakaat jelang sholat maghrib berjama’ah. Namun diri ini tak melakukan hal yang sama untuk sholat sunnah itu. Diri ini hanya mengambil posisi duduk dengan tenang sambil merenungi sejenak beberapa menit untuk menghadap ilahi Robbi. Ada rasa kepasrahan yang menyelimuti hati ini. Ada rasa bersalah ataupun tumpukan dosa yang menggunung terlihat dipelupuk mata. Ada rasa keharuan dan kesyukuran mendalam yang datang menghampiri karena diberikan kesempatan olehNya untuk bisa beribadah secara berjama'ah dengan yang lain. Dan terasa pula ada butiran-butiran bening yang jatuh membasahi bukit pipi. Mata ini mengeluarkan air mata didepanNya, padahal sholat berjama'ah belum berlangsung. Namun hati ini terasa akan kehadiranNya, melihat hambaNya yang datang sepenuh hati dengan membawa beban dosa yang dipikul pada pundak ini. Ada rasa pengharapan padaNya agar dosa yang makin memberat bebannya karena sudah terlalu banyak kesalahan maupun dosa yang dilakukan diri ini segera diampuni olehNya semuanya.

Duduk bersimpuh dengan penuh khusyu’ seolah melupakan semua aktifitas jama’ah lain yang hadir ditempat itu. . tak menghiraukannya sama-sekali. Seakan dalam ruangan musholla itu hanya ada diri ini dan Allah saja. Bersimpuh dalam keadaan berserah diri dan menanti berdiri untuk menghadapNya. Lalu dibuatnya gerimis hati ini saat wajah ini menghadap ke arah kiblat. Kaligrafi bertuliskan "Allah" dan "Muhammad" yang terpasang menjadi satu pada tembok didepan arah kiblat secara berdampingan seolah menjadi magnet dalam hati ini untuk terus menatapinya. Diam terpana. Kaku beberapa saat.

Kemudian kepala ini mengarahkan pandangan matanya yang sudah membasah ke arah sajadah panjang berwarna merah bermotif masjid, rasanya ingin bersujud lebih awal sebelum sholat berjama'ah dimulai. Tapi tak bisa. Kebeningan hati ini begitu terasa hari itu, saat detik-detik jelang sholat maghrib berjama'ah. Duduk sejenak memuhasabahi diri ini, mengingati segala dosa yang telah diperbuat dan tak terhitung lagi berapa jumlahnya. Bejibun. Terasa berat pundak ini memikul beban dosa yang terus bertambah-tambah. Ada pengharapan yang amat sangat padaNya, agar dosa-dosa itu terampuni semua olehNya. Semoga sholat maghrib kali ini memberikan kesan yang mendalam pada hati dan jiwa ini akan segala kebesaranNya dan kasih-sayangNya telah memberi kesempatan untuk bertemu padaNya saat jelang malam tiba. Berharap akan ampunanNya yang Maha Luas itu, mengampuni juga dosa-dosa yang melekat dalam diri ini.

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar...” kontan saja diri ini sedikit kaget dan tersentak dengan panggilan iqomat yang dikumandangkan oleh muadzin tadi. Terdengar dengan tiba-tiba karena pikiran ini masih menikmati detik-detik sholat maghrib tiba. Iqomat yang juga menandakan akan dimulainya sholat berjama'ah. Diri ini bangun dari duduknya setelah meresapi makna jelang berdiri menghadapNya. Berdiri dan merapikan barisan shaffnya, lurus sejajar, bahu saling berdekatan, dan kakipun saling menyentuh dengan kaki yang ada disebelah kiri dan kanan demi mendapatkan kesempurnaan nilai sholat itu sendiri.

Lalu sang imam yang sudah agak sepuh itu, terlihat dari kondisi fisiknya, pun memulainya dengan takbir pertamanya seraya mengangkat kedua tangannya keatas, sejurus kemudian kedua tangan tersebut sudah diposisi sedekap didadanya. Diri inipun mengikuti gerakan yang sama apa yang dilakukan imam tadi. Kemudian larut dalam kekhusyuan dan konsentrasi untuk mendengarkan dan menyimak lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan dengan jelas oleh sang imam yang berasal dari Quran-Nya, lalu meresapi maknanya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun