Di depan meja nomor lima
Di pojokan kafe itu
Kita duduk jauh dari barista
Di luar Tuhan sedang menyirami kota-kota dan manusia
Orang-orang singgah di teras,
Beberapa yang lain masuk
Dan disambut oleh yang bukan pelukan
Temperatur rendah ruangan berpendingin
Menyusup di antara lubang-lubang dan serat kain dari jaket atau sweater kita
"Kita tidak boleh terburu-buru memesan, tapi juga tidak boleh terlalu terlambat" katamu
"Kenapa?"
"Seperti halnya bertemu seseorang yang tepat dalam hidup kita."
"Ah, seperti Buku Harian-nya Avianti Armand. Cinta dan segalanya adalah perihal waktu."
"Benar!"
Kita berdua tertawa seperti sepasang kutu buku yang menemukan bacaan favorit
Seorang pelayan dengan senyum yang terpaksa mendekati kita
"Espreso?"
"Terlalu pahit."
"Kapucino?"
"Mungkin."
"Kau?"
Matamu melirikku
"Belum bisa memutuskan."
"Manusia memang selalu bimbang
jika dihadapkan dengan pilihan," kelakarmu menggoda.
"Bagaimana kalau memesan hatiku
untuk mencintaimu?" tanyamu lagi
"Aku akan memesannya lain kali," jawabku setengah tertawa
"Kenapa?"
"Karena aku sudah memesan waktu."
"Untuk apa?"
"Supaya kita tidak bertemu terlalu cepat atau terlambat."
"Lalu?"
"Agar kita selamanya."
Waktu di sekitar kita seolah berhenti
Tapi air-air itu masih berjatuhan dari langit