Aku memimpikanmu datang ke rumahku. Dalam tidurku yang singkat.
Kau tiba di suatu pagi. Dengan termometer di tangan kiri dan sendok di tangan kananmu.
Katamu aku demam. Semacam terjangkit virus. Atau sesuatu yang mirip dengan itu. Tatapanmu membulat. Seperti purnama yang penuh. Aku meragu.
Di atas meja kau sajikan sepiring nasi hangat dengan lauk kesukaanku: telur dadar lengkap dengan kecap asin dan cabai berjumlah ganjil.
Aku tidak tahu bagian mana yang membuatku sukar untuk percaya. Kau memasak untukku. Atau kau memang benar-benar ada.
Makanlah, katamu. Aku menurut. Pedas? Aku menggeleng. Barangkali karena memang tidak pedas. Atau karena aku tidak ingin segera terjaga. Hingga kau kembali menjadi sesuatu yang tidak ada.
Tapi tiba-tiba aku sudah terbangun dari tidur. Lebih pagi. Demam. Flu. Terbatuk-batuk. Tidak ada kau. Aku memeluk bayang-bayang yang lahir dari jendela. Setelah terlalu lelah menonton berita tentang penyebaran virus yang dibalut isu politik. Lama-lama menjadi biasa. Datar. Sekaligus membosankan.
Aku sungguh demam sekarang. Bolehkah aku tidur dan memimpikanmu sekali lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H