Sebagai salah seorang yang terlahir di pertengahan tahun 90-an, saya bersyukur untuk pernah menghabiskan masa kecil saya di tempat rental PS (playstation) —meski lebih sering sebagai penonton setia anak-anak orang kaya yang memainkannya.Â
Karena saya tidak selalu punya cukup uang untuk bisa diserahkan kepada pemilik rental. Sekalipun saya memaksakan diri untuk bermain, kemungkinan besarnya saya tidak akan diberi uang jajan pada hari berikutnya.
Masa kecil saya memang cukup dilematis, namun juga cukup manis jika saya ingat-ingat kembali. Mengenang masa-masa itu: pagi minggu, bangun lebih dini hanya untuk pergi ke tempat rental dan memilih stik paling bagus atau berebut tempat duduk paling depan.Â
Saya tidak menjamin memang, bahwa saya tidak kehilangan kegembiraan sejati layaknya (sebagian besar) anak-anak di zaman ini—dengan layar ponsel yang hampir selalu menempel pada wajahnya atau dengan candu oleh gim-gim online di dalam kepalanya. Namun itulah yang ada di pikiran saya saat ini.
Boleh dibilang keberadaan saya tidak pernah bisa jauh dari yang namanya tempat rental PS. Bahkan di saat saya sudah lulus SMA, saya sempat bekerja sebagai operator komputer usaha tempat rental PS 3, yang mana tempat itu kemudian berkembang hingga bisa menambah lima unit PS4 lengkap dengan TV LED berukuran 50 inci.
Terhitung tiga tahun lebih saya bekerja di tempat rental PS yang berlokasi di daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan itu. Dengan gajih yang pada awalnya hanya 500 ribu perbulan, hingga saya dipercaya oleh sang pemilik untuk menjadi tangan kanan dalam menjalankan usaha tersebut.Â
Pahit dan manis dari sebuah usaha banyak saya dapatkan di sana, terlebih saya melakukannya sembari kuliah. Hingga kemudian saya memutuskan untuk berhenti setelah dinyatakan lulus tes penerimaan Perangkat Desa pada awal 2018 lalu.
Dengan gajih yang tentunya lebih layak, dan jam kerja yang memberikan saya waktu lebih banyak untuk istirahat. Setelah tiga tahun lebih berkutat dengan pulang subuh.
Namun memang, dari hasil laporan di lembar excel yang saya baca, pendapatan semakin menurun dari waktu ke waktu. Dari ketika saya masih bekerja sebagai karyawan atau yang mengelola keuangan di sana, tempat rental itu bisa menghasilkan lima ratus hingga tujuh ratus ribu rupiah dalam sehari. Berbanding jauh dengan laporan keuangan terakhir yang saya tahu. Yang mana pendapatan tempat rental itu bahkan tidak mencapai seratus ribu perhari.
Pada awal Maret lalu, pemilik rental mengabari saya bahwa usaha rental PS ini sudah resmi gulung tikar. Saya tidak terlalu terkejut. Hanya saja tidak menduga akan secepat itu.