aku ingat pernah terbangun
di tubuhmu sepuluh tahun lalu.
saat kita terjebak dalam
maret yang lembap.
dan sepucuk surat buat cinta pertama yang tidak pernah kaukirim.
rasa-rasanya tahun datang dan berganti
seperti orang-orang yang pernah
kita kenal, lalu menjadi asing kembali.
namun nama mereka tinggal di hati kita. semacam tumbuhan liar yang sengaja kita rawat.
sebenarnya kita tidak perlu khawatir pada apa yang akan datang besok. atau hal manis apa yang masih layak untuk kita rayakan.
meski kita cakap terperangkap
dalam kecemasan orang-orang dewasa.
jadi sekarang kita seperti ini:
tampil serapi mungkin, namun dari dalam nampak menyedihkan.
kita dipaksa untuk bersedih
oleh hal-hal yang sama sekali tidak penting pada sepuluh tahun yang lalu.
kita bertanya kapan gajih ini akan cair
di saat saldo atm dan isi dompet sudah menipis,
atau cara terbaik menolak panggilan telepon operator asuransi kesehatan akibat menunggak iuran,
dan memakan gorengan,
dan tenggorokan menjadi sakit saat bernyanyi.
kita selalu mempunyai bayangan tentang masa depan sendiri,
namun tidak pernah benar-benar memilikinya. misalnya, orang seperti apa yang menenangkan kita kelak?
apakah ia bisa memasak, setidaknya menggoreng atau merebus telur,
karena itu makanan kesukaan kita
apakah ia jenis orang yang memiliki jurus jitu untuk menangkal kepikunan pabila kita katakan
"aku lupa di mana aku menaruh kunci rumah"?
apakah ia dapat menganggap normal
seseorang yang mengajak kucing bicara?
dan tempo kita mengajaknya mengecek kesehatan atau ia akan pergi mengantar anak ke sekolah dasar di hari pertama, dan kita katakan "kau cantik", semoga pipinya tetap memerah. kadang kita berharap untuk selalu terbawa suasana masa muda saat memandangnya tersipu.
semuanya berubah saat kita tua. waktu bukan perkara kepemilikan
yang bisa diperdebatkan.
dan telah sampai aku pada kita yang hari ini,
dan berharap aku tidak membuat kesalahan terbesar
dengan menjadi lebih tua sepuluh tahun
darimu—diriku yang sepuluh tahun lalu.