Aku selalu ingin datang terlambat.
Seperti kabar baik untuk keluarga
pasien di rumah sakit,
keringat yang keluar dari pori-pori kulit
pengemis tua di dekat lampu merah,
atau pegawai kantoran di bulan Desember
dengan alasan hujan.
Aku selalu ingin datang terlambat.
Semisal taksi yang ditunggu
oleh seseorang
di depan halte
dengan cemas dan gerimis
di matanya.
Semata-mata ia takut apabila
senja pulang mendahuluinya.
Aku selalu ingin datang terlambat.
Pelangi di langit sore,
koran minggu pagi dengan berita korupsi di hari Sabtu.
Atau ketika kau mulai berpikir untuk
membeli jam tangan baru.
Karena kesedihan selalu berkunjung
tanpa mengenal waktu.
Aku selalu ingin datang terlambat.
Sebagai seorang tamu penting
dengan pidato yang sama
sekali tidak menarik.
Namun sebuah acara tidak akan
dimulai tanpanya.
Aku selalu ingin datang terlambat.
Seperti sebuah penyesalan
terhadap kata-kata
yang tidak sempat diucapkan.
Atau ketika kau memutuskan untuk  berhenti menunggu
seorang tamu yang tidak pernah
berniat untuk datang
ke rumahmu.
Martapura, 17 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H