Aku bertelanjang di depan cermin,
tiba-tiba lahir keinginan untuk
mengatakan kekasihku cantik hari ini.
Aku memiliki hasrat untuk mencumbunya seperti bayi yang selalu lapar pada puting susu ibu.
Aku ingin sarapan bersama kekasihku.
Di meja makan aku menunggunya,
lalu kami bicara perihal cuaca di luar.
Pekarangan di depan rumah dijatuhi langit yang runtuh. Permukaannya seperti lengan yang melingkar di pundakku, yang terasa semakin dingin dan dingin.
Kekasihku adalah lautan lepas tanpa ada kapal yang mau berlayar. Kekasihku ialah awan sebelum dan sesudah hujan memeluk pepohonan. Kekasihku jalan raya di waktu senja saat lampu-lampu mulai menyala.
Kekasihku kenangan, atau luka yang terjebak oleh cairan obat merah. Rusuknya tercipta dari udara-udara dingin yang menggosok punggung manusia seperti badai.
Sebelum tidur, aku sering berbincang dengannya. Kekasihku, ia memang cantik, tapi sesekali aku ingin ia pergi. Karena kekasihku semakin jalang dan menikam saat larut malam.
Aku tidur dan bangun kembali dengan kekasihku. Tapi terkadang ia bersembunyi di bawah ranjang, lalu muncul kembali saat aku bertelanjang.
Kekasihku yang cantik,
ia bernama kesepian
yang tidak ingin ramai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H