Sekali dalam seminggu, Malekay --di tengah kesibukannya  bekerja di luar kota-- selalu berusaha menyempatkan diri untuk pulang di hari minggu, mengajak Amy pergi ke atas bukit yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya pada malam harinya. Itulah kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka sejak berpacaran hampir empat tahun.
Bukit itu seolah sudah menjadi tempat yang sakral bagi mereka berdua. Bertemu, melepas rindu hingga bercumbu. Selain itu, memandangi kunang-kunang yang menyala indah di malam hari juga merupakan bagian yang sangat mereka sukai. Seringnya, Amy akan berbaring di pangkuan Malekay. Kemudian mereka akan banyak berbicara tentang masa depan, serta menghitung jumlah kunang-kunang yang dapat ditangkap oleh mata mereka yang kasmaran.
"Menurutmu apa yang sedang mereka pikirkan?" tanya Amy pada Malekay yang sedang membelai rambutnya. Matanya tak henti-hentinya memerhatikan sejumlah kunang-kunang yang berterbangan hanya beberapa meter dari hadapan mereka.
"Jika kubilang aku bisa memahami mereka, atau misalkan aku menjelma menjadi salah satu dari kunang-kunang itu, apakah kamu akan percaya saat kukatakan bahwa yang sedang mereka pikirkan adalah kamu?" jawab Malekay setengah merayu.
Amy memandang Malekay sambil tersenyum. "Aku percaya."
"Kamu ingat saat pertama kali kita datang ke tempat ini?
"Tentu. Tanggal dua puluh delapan Oktober. Dua minggu sesudah kunyatakan perasaanku padamu."
"Ingatanmu bagus," ucap Amy dengan nada sedikit mengejek.
"Karena kamu yang merawatnya."
"Kamu pernah sungguh-sungguh menghitung jumlah mereka saat aku katakan bahwa kita sedang dalam kompetisi menghitung jumlah kunang-kunang?" tangan Amy menunjuk sepasang kunang-kunang yang terbang beriringan.
"Pernah."
"Sungguh?"
"Ya. Satu kali."
"Hanya  sekali."
"Iya."
Amy mencubit kaki Malekay. Mereka berdua tertawa. Membuat beberapa jam menjadi tidak terasa.
"Kita pulang?"
"Sebentar lagi. Kenapa harus terburu-buru sementara hari-hari seperti ini hanya datang sekali dalam seminggu. Itu pun kalau kamu tidak terlalu sibuk."
"Baik. Aku paham. Kamu tahu aku akan selalu kalah jika kamu membahas tentang hal ini."
Amy tertawa kemudian segera mengambil dan melumat bibir Malekay dengan bibirnya. Kunang-kunang di sekitar seolah menjadi saksi  cinta mereka untuk yang kesekian kalinya.
***
Seminggu berlalu, di malam senin yang baru, seperti biasa, mereka akan kembali ke atas bukit itu. Untuk sekadar mengobrol hingga menikmati keindahan alam serta paduan gelap malam dengan hiasan cahaya kunang-kunang. Dengan sepeda motornya, Malekay menjemput Amy di rumah orangtuanya. Hanya dengan sedikit basa-basi, ia selalu berhasil memperoleh izin membawa pergi Amy keluar dari rumah.
Sesampainya di atas bukit itu, mereka hanya melihat empat ekor kunang-kunang yang berlalu-lalang.
"Kamu merasakannya?" tanya Malekay, "jumlah mereka yang semakin berkurang?"
"Kamu sungguh menghitungnya?" Amy sedikit tertawa.
"Tentu aku pernah. Sudah hampir tiga jam kita di sini. Tapi hanya beberapa ekor yang terlihat."
"Sebenarnya aku sudah menyadarinya sejak beberapa bulan yang lalu."
"Sungguh?"
"Lebih tepatnya sejak tanah ini dibeli oleh sebuah perusahaan. Beberapa pohon di sini bahkan sudah ditebang."
"Aku tidak memerhatikannya."
"Tentu. Karena kamu hanya datang ke sini denganku di saat malam hari."
Amy meraba dagu dan pipi Malekay dengan hangat.
"Ada apa?" tanya Amy melihat Malekay yang terdiam.
"Apa yang akan dilakukan orang-orang itu di sini?"
"Aku belum tahu," jelas Amy. "Kamu tak apa?"
"Iya." Malekay sedikit menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Amy.
***
Pada malam senin yang lain, Malekay dan Amy kembali bersua di tempat yang sama. Amy membawa kabar buruk tentang bukit itu.
"Mereka akan membangun pabrik logam."
"Mereka akan menebang banyak pohon di sini."
"Mungkin."
"Itu pasti. Bukan sekadar kemungkinan. Pabrik itu akan berdiri di atas lahan yang cukup luas."
"Lalu?" tanya  Amy penasaran.
"Kunang-kunang ini akan pergi dari sini." Malekay mengalihkan matanya dari wajah Amy ke arah seekor kunang-kunang yang tertangkap oleh matanya.
"Aku tidak ingin hal itu terjadi," Amy menyahut, bangun dari pangkuan Malekay. "Apa yang bisa kita lakukan?"
"Aku belum tahu."
"Apakah kita bisa membujuk mereka untuk tidak membangun pabrik di sini?"
"Itu mustahil."
Malekay dan Amy pulang lebih cepat dari pada malam-malam senin sebelumnya. Kepala mereka --terlebih Malekay--dihantui oleh perasaan khawatir pada habitat kunang-kunang di atas bukit yang sedang terancam.
Sesampainya di rumah, Malekay melihat dua pria asing tengah berbincang di ruang tamu dengan ibunya. Tidak perlu waktu yang lama, ia bisa mengetahaui bahwa kedua orang tersebut adalah perwakilan dari pihak perusahaan yang ingin membangun pabrik logam.
Mereka bermaksud ingin membeli rumah ibu Malekay. Namun ibunya bersikukuh untuk tetap mempertahankan rumah tersebut. Karena baginya, rumah itu merupakan satu-satunya warisan dari ayah Malekay yang sudah meninggal.
"Kalau saya bilang tidak, ya tidak!"
"Tapi Nyonya, kami tidak akan mendapat izin membangun dari pemerintah apabila masih ada warga yang tinggal pada radius yang masih bisa dijangkau oleh limbah perusahaan kami."
"Itu urusan kalian. Bukan urusan saya!"
"Pikirkanlah sekali lagi. Hanya ada dua belas rumah yang terdiri dari lima belas kepala keluarga yang bermukim di daerah sini. Kecuali Anda, mereka semua sudah menandatangani persetujuan untuk pindah ke hunian baru yang sudah kami sediakan. Beserta sejumlah uang yang pastinya tidak akan membuat Anda rugi."
"Tidak!" bentak ibu Malekay dengan tegas.
"Pabrik kalian akan merusak lingkungan. Hutan di atas bukit akan kalian gunduli. Banyak hewan yang akan kehilangan habitatnya," sergah Malekay.
"Itu bukan masalah kami. Tanah itu sudah kami beli."
"Begitu pula dengan pembangunan pabrik kalian. Itu bukan masalah kami."
Tidak berselang lama kedua orang itupun pulang dengan wajah masam.
Malekay dan ibunya saling memandang dan tersenyum.
"Mereka akan kembali. Perlukah aku berhenti bekerja untuk bersama Ibu di sini?"
"Tidak perlu. Ibu takkan mengubah pendirian."
"Tapi aku merasa khawatir."
"Semuanya akan baik-baik saja," ibunya menenangkan
***
Minggu berikutnya, pukul setengah lima pagi, ketika Malekay pulang kembali, ibunya memberitahu bahwa kedua orang itu kembali datang pada jumat malam. Malekay yang merasa khawatir memeluk ibunya.
"Aku akan mengambil cuti dari pekerjaan."
"Kamu tidak keberatan?"
"Tidak sama sekali."
Setelah itu, Malekay meminta izin kepada ibunya untuk jalan-jalan pagi. Meski sebenarnya ia baru saja tiba.
Malam harinya, Malekay dan Amy kembali bertemu  di atas bukit itu, namun kini keduanya menemukan pemandangan yang berbeda. Malam mereka tanpa seekor pun kunang-kunang. Juga dengan jumlah pohon yang semakin berkurang.
"Kita sudah kehilangan mereka."
"Semua kunang-kunang itu sudah pergi?"
"Entah."
"Hei! Apa yang kalian lakukan di sini malam-malam!?" suara teriakan laki-laki dewasa terdengar oleh mereka berdua.
Orang itu mendekat, Malekay dengan samar-samar merasa mengenalinya.
"O, kamu. Anak dari ibu-ibu yang keras kepala itu?"
"Bapak yang kemarin ke rumah saya?"
"Ya, betul. Sedang apa kamu di sini? Mau mesum di tanah kami? Mau saya laporkan ke polisi?"
"Kami tidak berbuat yang macam-macam. Kami hanya ingin menikmati pemandangan malam dengan kunang-kunang. Kami sudah terbiasa melakukannya. Mereka sekarang sudah hilang karena perluasan lahan untuk pembangunan pabrik kalian," Amy menyerobot.
"Sudah," Malekay mencoba menenangkan. "Kita pulang."
"Hah! Dasar anak-anak muda sekarang sukanya mesum!"
Setelah 30 menit lebih perjalanan mengantar Amy pulang, Malekay pun pamit. Sekitar 200 meter sebelum ia mencapai rumahnya, Malekay melihat langit di arah timur --yang adalah arah rumahnya--memerah. Ada kobaran api. Begitulah yang tertangkap dibenaknya. Ia langsung memacu laju motornya. Setelah sampai ia mendapati rumahnya tengah terbakar. Ibunya terduduk sambil menangis. Malekay langsung memeluk ibunya.
"Ibu tidak apa-apa?"
"Iya."
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ibu tidak tahu. Ibu sedang tidur. Lalu ketika Ibu terbangun, Ibu malah mendapati bagian belakang rumah kita terbakar."
"Kunang-kunang. Kunang-kunang itu ada di dalam."
"Apa maksud kamu?" tanya ibunya tersedu-sedu.
"Ibu di sini saja. Ada sesuatu yang harus kuambil." Malekay segera lari dan masuk ke dalam.
"Malekaaay! Jangan!" ibunya berteriak. Namun terlambat. Â Ibunya semakin menangis. Berdiri. Namun jatuh kembali.
Beberapa saat kemudian Malekay keluar dengan batuk-batuk. Bagian depan rumahnya kini juga ikut terbakar. Malekay memeluk ibunya yang histeris.
"Jangan lakukan itu."
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
"Sudah terlambat untuk memadamkan apinya."
"Tidak apa. Kita bisa membangun ulang."
"Apakah itu kunang-kunang?"
"Iya. Untuk Amy."
Tiga orang bertubuh tegap tiba-tiba muncul dari barisan pepohonan. Tanpa bicara, mereka memisahkan Malekay dari ibunya. Salah satu dari mereka membius ibu Malekay hingga pingsan. Sementara dua orang lainnya menghajar Malekay habis-habisan. Malekay terluka parah hingga tewas di tempat itu, tubuhnya di buang di tengah kobaran api yang masih menyala. Sementara ibunya yang masih dalam keadaan pingsan juga turut dilemparkan.
Polisi tiba pukul dua dinihari atas laporan seseorang yang mengaku melihat kobaran api di sekitaran daerah tersebut. Namun semuanya sudah terlambat. Rumah Malekay dan ibunya sudah menjadi abu. Bersama tubuh mereka yang terkubur di dalamnya. Satu-satunya yang tersisa adalah sebuah toples dengan sepasang kunang-kunang dan secarik kertas kecil di dalamnya. Polisi menemukan toples tersebut, menyerahkannya pada Amy karena mengetahui catatan tersebut ditujukan kepadanya.
Amy menangis. Tidak percaya atas kejadian yang telah merenggut nyawa kekasihnya. Terlebih karena catatan itu berbunyi: Untuk Amy, kuberikan sepasang kunang-kunang ini. Aku sudah memahami mereka. Satu-satunya yang mereka pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar kita tetap ada dan bersama. Kamu percaya? Selamat hari jadi yang keempat tahun. Aku mencintaimu.
Amy menangis sejadi-jadinya, sekeras kerasnya. Sementara polisi menerangkan bahwa kebakaran itu terjadi akibat hubungan pendek arus listrik. Tapi Amy meragukan pernyataan tersebut. Terlebih bagaimana bisa toples tersebut ditemukan di luar rumah dan tidak tersentuh api sama sekali. Namun polisi hanya bergeming.
Berselang satu bulan, pabrik logam itu akhirnya sudah mulai dibangun. Bukan hanya di atas bukit yang kehilangan kunang-kunang, tapi juga di atas kesedihan Amy. Pada malam hari, Amy hanya akan mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memandangi sepasang kunang-kunang pemberian Malekay. Kado hari jadi terindah, sekaligus kenang-kenangan yang menyakitkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI