Sekali dalam seminggu, Malekay --di tengah kesibukannya  bekerja di luar kota-- selalu berusaha menyempatkan diri untuk pulang di hari minggu, mengajak Amy pergi ke atas bukit yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya pada malam harinya. Itulah kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka sejak berpacaran hampir empat tahun.
Bukit itu seolah sudah menjadi tempat yang sakral bagi mereka berdua. Bertemu, melepas rindu hingga bercumbu. Selain itu, memandangi kunang-kunang yang menyala indah di malam hari juga merupakan bagian yang sangat mereka sukai. Seringnya, Amy akan berbaring di pangkuan Malekay. Kemudian mereka akan banyak berbicara tentang masa depan, serta menghitung jumlah kunang-kunang yang dapat ditangkap oleh mata mereka yang kasmaran.
"Menurutmu apa yang sedang mereka pikirkan?" tanya Amy pada Malekay yang sedang membelai rambutnya. Matanya tak henti-hentinya memerhatikan sejumlah kunang-kunang yang berterbangan hanya beberapa meter dari hadapan mereka.
"Jika kubilang aku bisa memahami mereka, atau misalkan aku menjelma menjadi salah satu dari kunang-kunang itu, apakah kamu akan percaya saat kukatakan bahwa yang sedang mereka pikirkan adalah kamu?" jawab Malekay setengah merayu.
Amy memandang Malekay sambil tersenyum. "Aku percaya."
"Kamu ingat saat pertama kali kita datang ke tempat ini?
"Tentu. Tanggal dua puluh delapan Oktober. Dua minggu sesudah kunyatakan perasaanku padamu."
"Ingatanmu bagus," ucap Amy dengan nada sedikit mengejek.
"Karena kamu yang merawatnya."
"Kamu pernah sungguh-sungguh menghitung jumlah mereka saat aku katakan bahwa kita sedang dalam kompetisi menghitung jumlah kunang-kunang?" tangan Amy menunjuk sepasang kunang-kunang yang terbang beriringan.
"Pernah."