Matahari di atas kepala kita seperti tidak lebih tinggi dari tiang-tiang penyangga Jembatan Barito.
Kamu seolah bisa menggenggamnya,
meski cahayanya lebih sering menyakiti mata kita.
"Aku suka tempat ini," katamu waktu itu.
Kamu ingin tinggal di sini lebih lama.
Aku mengangguk mengerti.
Aku pun menginginkan hal yang sama.
Kita bisa menghabiskan waktu seharian di sini.
Duduk dan menyaksikan kapal tongkang, kelotok, dan perahu nelayan berlayar di Sungai Barito.
Kita juga bisa melintasi pos penjaga lalulintas Simpang Empat Lok Baintan beberapa kali hanya untuk memamerkan SIM dan STNK kepada polisi. Aku ingat kamu menertawakanku hari itu.
Atau, kita bisa pergi ke pasar terapung, membeli hal-hal yang sebenarnya tidak kita perlukan. Bahkan kalau kamu mau, aku bersedia menemanimu menunggu Bekantan keluar dari tempat persembunyian.
"Di lain waktu, kita bisa pergi ke tempat yang lain."
Aku tersenyum menyaksikan tingkahmu.
Matamu masih menghadap hamparan luas sungai. Sesekali menunjuk ke arah Pulau Bakut yang seolah tumbuh di tengahnya.
Kita ke sana lagi, katamu.
Aku menggeleng. Sebab hari telah cemburu dan senja perlahan turun di antara kita.
Kulihat matamu masih mencari-cari hal lain.
"Kita bisa pulang naik kereta?"
Aku mengambil tanganmu sambil tertawa. "Tidak ada kereta di tempat ini."
Suasana di sekeliling Jembatan Barito yang kamu sukai itu perlahan-lahan gelap.
Langit luas yang telah kelabu, pijar cahaya lampu-lampu kapal memantul di atas permukaan air keemasan yang tawar. Terlihat dari kejauhan, tempat di mana kita pernah duduk. Titik di mana kamu pernah berdiri dan bertingkah seolah-olah bisa menggenggam matahari.
Tempat yang indah untuk menghabiskan hari denganmu.
Bukan kesalahan siapa pun.
Meski kamu tidak bisa tinggal di sini lebih lama.