Apabila hujan mulai turun, entah bagaimana, kadang-kadang, saya membayangkan bahwa kamu akan mencari-cari remot televisimu, mulai merasa kesepian, hingga mencari lawan bicara. Atau sesuatu untuk didengarkan. Membayangkanmu bertanya-tanya tentang tempat di mana saya ingin berada.
Lalu dari kepala saya yang paling dalam, saya menjawab: Bahwa saya ingin kembali ke dalam kepalamu, sebagai isyarat, sebagai kilasan kesadaran, sebagai sesuatu yang terjaga saat larut malam.
Saya ingin kembali ke dalam kepalamu seperti suara bising rel kereta api yang membangunkanmu dari tidur. Suara dentingan bibir gelas berisi teh panas yang disentuh oleh sendok, yang memberi sedikit irama pada kekal keheninganmu.
Saya ingin merawat ingatanmu. Dari kenangan yang bergegas pergi. Tentang hari-hari yang kita lewati, duduk tiga jam di depan televisi yang menyala, menonton acara sepak bola yang kamu benci, hingga saya yang berpura-pura pandai menjadi seorang pewara hanya untuk membuatmu tertawa.
Atau ketika saya selipkan matahari ke dalam sakumu, karena -saya kira- kita tidak pernah takut pada apa pun. Pada cahaya yang perlahan terbenam. Pada malam yang kadang-kadang datang lebih cepat dari perkiraan. Sementara waktu telah berhenti di mata kita yang sedang jatuh cinta.
Saya ingin kembali ke dalam kepalamu. Sewaktu kamu berkelesah tentang hujan yang jatuh lebih lama di luar. Pada buku novel kesayanganmu yang basah, kucingmu yang tak kunjung kembali, atau perasaan yang tidak akan tumbuh dua kali.
Kemudian ketika hari-hari setelah matahari kembali bangun dari sakumu. Ada yang terlambat untuk saya sadari, bahwa waktu terus berjalan. Sedangkan kita tidak pernah diajari untuk melepaskan.
Dan hujan di depan rumahmu perlahan reda. Merembes ke dasar tanah tanpa menyisakan genangan. Atau barangkali kenangan pergi lebih cepat dari yang saya kira. Menanggalkan kita. Meninggalkanmu.Â
Tapi kadang-kadang ia masih jatuh, menembus atap rumah saya yang bocor, sewaktu saya menonton acara sepak bola yang tidak kamu suka. Membuat saya khawatir. Pada buku-bukumu yang basah, kucingmu yang belum kembali, atau perasaanmu yang tak akan tumbuh dua kali.
Saya pikir kita memang tidak pernah takut pada apa pun. Atau barangkali hanya kamu. Karena saya mulai takut pada perpisahan. Dan kenyataan bahwa saya tidak bisa kembali ke dalam kepalamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H