Sejak seminggu lalu aku mulai rutin melihat sebatang pohon di luar jendela. Yang kering. Dan entah sedang menunggu apa. Barangkali hujan. Barangkali kematian. Aku pikir tidak ada bedanya. Hanya masalah waktu, sebelum ia mati atau layu.
Aku melihat banyak rantingnya berserak. Lindap sebagai ketidakberdayaan dalam penantian yang melukis wajah muram di atas permukaan tanah. Daun-daunnya meranggas, jatuh sebagai alas.
Dua hari yang lalu aku masih memandang pohon itu. Ketika kaca jendela merawat kesepiannya yang dingin. Saat kutemukan ia masih berdiri dengan kokoh dan sombong di sudut sana.
Entah sampai kapan. Rantingnya perlahan habis berguguran, sedang daunnya yang sedikit, merangkak jatuh sebagai ingatan yang mengenang --bahwa ia pernah tumbuh.
Hari ini aku melihat pohon itu
dengan kesia-siaan. Dengan akar-akar yang pincang dan sisa-sisa dahan yang nyaris tumbang. Bersama secarik daun terakhir berwarna cokelat keemasan yang jatuh di atas senyuman seorang perempuan.