Seseorang dari dalam diri saya mengatakan bahwa tetap hidup dan terus menghirup oksigen tidaklah terlalu buruk. Setelah getir dan pilu yang beranak di dalam saku celana saya yang kering, serta senyuman seorang perempuan yang tidak kunjung pudar. Yang masih dengan tololnya menempel pada dinding otak saya yang kerdil.
Karena memang hanya ada dua hal yang membahayakan keberlangsungan sejahtera hidup yang sudah saya rencanakan di bumi yang kotor ini. Pertama, bakteri dari uang logam yang telah disentuh ratusan ribu tangan. Kedua, kesepian.
Ibu saya pernah bilang bahwa sejak kecil, saya memang rentan sekali terhadap kuman. Saya rutin sakit perut karena terlalu lama menggenggam uang  logam ketika antre membeli gorengan. Kemudian makan tanpa mencuci tangan. Saya juga sangat cengeng. Saya bisa tiba-tiba menangis saat hujan turun, sementara ibu malah pergi ke warung.
Dua hal tersebut kadang-kadang membuat saya lebih memilih untuk mengantuk. Apalagi ketika perempuan yang dahinya agak jenong itu meninggalkan saya di pojok sendu sebuah kafe dengan dua buah cangkir kopi kecil yang mahal. Tapi tidak enak. Saya merasa ditipu duakali hari itu.
Saya tidak romantis, katanya. Dia menyesal karena mengenal saya, katanya. Bahkan kalimat terakhir yang dia ucapkan sebelum lenyap di balik pintu kaca kembar itu membuat hati saya bertambah patah; dia bilang lebih baik hidup dengan sebatang pohon ketimbang menghirup udara yang sama dengan saya.
Namun jika saya pikir-pikir, hal itu tidak terlalu buruk. Karena patah hati merupakan ciri dasar manusia dewasa yang sudah tidak perlu mengantre gorengan dengan beberapa keping uang logam di tangan. Sisi baiknya, saya bisa terhindar dari sakit perut karena kuman.
Dan satu-satunya hal yang membuat saya tidak ingin hidup sekarang adalah kesepian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H